AyoBacaNews.com, Kalimantan - Sobat Baca, di masa pendudukan Jepang, Kaharingan diusulkan sebagai nama dalam menyebut kepercayaan orang Dayak yang lambat laun memiliki kitab bernama Panaturan dan tempat ibadah yang disebut Balai Basarah.
Inti dari kepercayaan ini adalah kerukunan hidup antar manusia, menghormati arwah leluhur, serta menjaga hubungan harmonis antara manusia dan kosmos atau alam semesta.
Perubahan dalam kosmos dianggap sebagai tanda dari ketidakseimbangan, yang disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh manusia.
Untuk menetralkannya, dibutuhkanlah ritual-ritual, dan ritual tertinggi dalam Kaharingan adalah Tiwah, yakni ritual mengantar arwah ke tempat asalnya bernama Lewu Tatau untuk kembali bersama Ranjing, dewa tertinggi dalam kepercayaan Kaharingan.
Seperti Toraja, Dayak juga sangat menghargai kematian dan menjalani kehidupan sebaik-baiknya, seperti arti Kaharingan itu sendiri, yakni kehidupan.
Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari hubungan kental dengan alam semesta, maka orang Dayak percaya bahwa menjaga alam adalah menjaga kehidupan.
Meskipun perlu ditekankan sekali lagi bahwa Dayak adalah penyebutan dari penguasa untuk mengkategorikan mereka di pedalaman, sedangkan jumlah mereka sangat banyak dan memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Hukum adat saja berbeda di tiap komunitas.
Antropolog Ju Lontaan dalam bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat menyebutkan setidaknya Dayak terdiri dari enam suku besar dan 405 sub kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. (*)