AyoBacaNews.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati menyebut, pemerintah harus segera merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Terutama pada kebijakan yang dimuat dalam aturan tersebut, berkaitan tentang regulasi penyediaan alat kontrasepsi untuk usia sekolah dan remaja.
Dalam Pasal 103 ayat (4) poin e, disebutkan pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja paling sedikit meliputi, satu di antaranya penyediaan alat kontrasepsi.
Kurniasih menyebut, PP sebagai regulasi UU Kesehatan yang merupakan regulasi Omnibus Law itu justru tidak menyederhanakan peraturan, melainkan menimbulkan tafsir yang berbahaya.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lantas berdalih, kata Kurniasih, jika aturan terkait alat kontrasepsi itu dikhususkan untuk remaja yang sudah menikah, dan teknisnya akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan.
"Jika masih harus menunggu Permenkes, sama sekali tidak menyederhanakan regulasi. UU Kesehatan dibuat dengan sistem Omnibus Lawa dengan dalih menyederhanakan regulasi. Namun, aturan turunannya malah harus berbelit-belit dan birokratis. Kita dorong untuk revisi di tingkat PP agar tidak menimbulkan tafsir liar," kata Kurniasih dalam keterangannya, dikutip Rabu, 7 Agustus 2024 dari laman dpr.go.id.
Satu di antara tafsir liar adalah membolehkan remaja melakukan hubungan seksual di luar pernikahan menggunakan alat kontrasepsi, berdalih pelayanan kesehatan reproduksi.
"Dari data yang ada, seks bebas di tingkat remaja semakin mengkhawatirkan dengan konsekuensi negatif yang semakin meningkat," kata Politisi Fraksi PKS itu.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat, pada remaja usia 16-17 tahun ada sebanyak 60 persen yang melakukan hubungan seksual, usia 14-15 tahun ada sebanyak 20 persen, dan usia 19-20 sebanyak 20 persen.
Kurniasih menyebut, satu di antara ekses negatif dari seks bebas adalah angka aborsi akibat kehamilan, yang tidak diinginkan semakin tinggi.
Data Guttmacher Institut pada 2000 mencatat, estimasi aborsi adalah 37 aborsi untuk setiap 1000 perempuan berusia 15-49 tahun, angka ini terbilang tinggi dibandingkan dengan Asia secara regional.
Penelitian Nurhafni pada 2022 menunjukkan, dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, sebanyak 95 persen dilakukan remaja usia 15-25 tahun.
Angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus, dan 1,5 juta di antaranya dilakukan remaja. Di Bandung, menunjukkan 20 persen dari 1000 remaja yang pernah melakukan seks bebas.
Belum lagi bicara meningkatnya angka penyakit menular seksual yang semakin tinggi. Kemenkes menyebutkan, kasus sifilis meningkat hampir 70 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni 2018 sampai 2022.
Sementara itu, ada 100.000 orang dengan HIV yang belum terdeteksi, dan berpotensi menularkan ke masyarakat.
Dan Kemenkes menyebut dari 526.841 orang dengan HIV, baru sekitar 429.215 orang yang sudah terdeteksi atau mengetahui status dirinya HIV.
"Angka seks bebas yang naik pasti diikuti ekses negatif, seperti kasus aborsi dan penularan penyakit seksual yang naik. Ini kita bicara dari sisi kesehatan," kata Kurniasih.
"Maka dibanding menunggu munculnya aturan turunan dari Kemenkes, pemerintah secara lugas dan jelas (perlu) merevisi pasal penggunaan alat kontrasepsi untuk remaja sesegera mungkin," tambahnya. (*)