RUU PENYIARAN: Eksistensi Televisi Melawan Oligarki Over-the-Top

Rabu, 25 Desember 2024 | 10:04
RUU PENYIARAN: Eksistensi Televisi Melawan Oligarki Over-the-Top
Ilustrasi sudut pandang: Masyarakat sangat mudah mendapatkan informasi dari banyak platform, satu di antaranya platform Over-the-Top atau dikenal dengan platform OTT (Netflix , Youtube, dan sejenisnya).
Penulis: Penulis Opini Muhamad Harikal Ramadhan Pohan | Editor: AyoBacaNews

DIGITALISASI menuntut adanya perubahan yang cepat dalam mencari dan mendapatkan informasi dan hiburan. 

Dahulu, masyarakat Indonesia hanya akan menerima informasi dari televisi, radio dan surat kabar saja, tetapi di era digitalisasi ini membuat masyarakat sangat mudah mendapatkan informasi dari banyak platform, satu di antaranya platform Over-the-Top atau dikenal dengan platform OTT (Netflix , Youtube, dan sejenisnya).

Hadirnya platform OTT di era digitalisasi saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi televisi, sebagian masyarakat menganggap televisi sudah habis eranya. 

Kondisi ini tentu menjadi anomali yang membuat industri media televisi harus dapat bertransformasi secara ide kreativitas agar dapat terus menjadi platform penyedia informasi dan hiburan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Kondisi ini tentu tidaklah mudah, Televisi dianggap membosankan oleh sebagian besar masyarakat saat ini dikarenakan konten-konten televisi tidaklah relevan, tetapi bagi industri televisi untuk dapat menyediakan konten yang relevan pada generasi saat ini terganjal oleh rumitnya regulasi yang mengatur televisi.

Perubahan Behavior Khalayak

Kebiasaan masyarakat hari ini sudah berubah secara budaya, banyak hal yang dahulu dianggap tabu oleh masyarakat sudah dinormalisasi karena terjadinya imperalisme akibat tontonan yang masuk melalui platform di luar televisi. 

Contoh kasus sederhanya ialah ketika tontonan youtube lebih asik dibandingkan dengan televisi dikarenakan konten yang disajikan dapat menggambarkan aktifitas masyarakat seperti dalam dunia nyata (misalnya: konten talkshow sambil merokok).

Kondisi ini di youtube saat ini diperbolehkan, sedangkan dalam konten televisi adegan-adegan kebiasaan seperti merokok bahkan menggunakan tata bahasa yang kurang baik itu sangat jelas dilarang untuk ditampilkan untuk publik sesuai regulasi Undang – Undang Penyiaran dan Pedoman P3SPS yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Secara sederhana masyarakat akan menonton konten-konten yang menarik dan sesuai dengan kondisi kebiasan di dunia nyata. 

Kondisi seperti ini membuat eksistensi telvisi sudah lagi tidak menarik bagi khalayak dan khalayak lebih nyaman menonton konten dari platform OTT. 

Keadaan ini tentu menjadi prihatin bagi orang-orang yang bergelut di industri media.

Negara Harus Hadir 

Semangat untuk menegakkan demokrasi harus terus dijaga, di Indonesia posisi media menjadi pilar demokrasi ke-empat, sehingga peran media harus bersifat edukatif dan tidak boleh menampilkan konten-konten yang diluar norma hidup baik masyarakat. 

Negara harus memiliki peran lebih besar hari ini dengan kondisi masyarakat yang hari ini lebih menikmati konten-konten yang berpotensi dapat merusak budaya asli Indonesia dan memastikan generasi penerus bangsa dapat mendapatkan informasi dan hiburan secara terdidik, ini sesuai dengan fungsi media salah satunya ialah fungsi pendidikan, sehingga media yang hadir dan layak ditonton oleh khalayak generasi penerus bangsa merupakan media yang mendidik.

Negara harus sudah memandang penting mengenai peran besar industri media dalam menjaga mata dan telinga masyarakat Indonesia. 

Dalam contoh negara maju seperti Australia secara tegas mengeluarkan kebijakan yang ketat untuk dapat menjaga generasi bangsanya dari arus informasi dan hiburan yang kurang mendidik.

Over-the-Top Harus Diatur

Untuk dapat menjamin setiap warga negara mendapatkan informasi dan hiburan mendidik maka pemerintah tidak boleh hanya mengatur televisi dan radio saja dan menjaga kedaulatan negara. 

Lebih dari itu, karena perkembangan platform global (Over-the-Top) di Indonesia cukup pesat dan sangat menarik perhatian khalayak yang membuat eksistensi televisi yang secara esensi mendidik dapat tergerus karena platform OTT tersebut.

Dengan semangat itu, negara sebagai institusi yang dapat mengeluarkan regulasi diharapkan tidak hanya dapat mengatur media-media yang sifatnya konvensional seperti televisi, radio dan surat kabar saja, diharapkan lebih dari itu negara juga harus dapat secara tegas mengatur platform OTT secara konten-konten yang mereka sajikan, ini tentu bukan hal yang susah bagi sebuah negara untuk mengatur dengan landasan kedaulatan suatu bangsa dan menjamin konten-konten yang dinikmati oleh khlayak memiki unsur pendidikan didalamnya.

Kemudian, yang menjadi susah apabila negara berkompromi dengan para oligarki platform OTT, menurut Vincent Mosco dalam buku The Political Economy of Communication hadirnya oligarki dalam sebuah media dapat merusak tatanan sebuah negara utamanya dalam unsur demokrasi, Mosco berpendapat seharusnya negara tidak hanya menjadi regulator seja harus juga jadi pemain aktif untuk bagaimana menentukan bagaimana suatu media beroperasi dalam masyarakat.

Dibanyak situasi, Mosco menjelaskan negara sering berkolaborasi dengan oligarki media. 

Mosco mencatat bahwa negara dan oligarki sering kali memiliki hubungan yang simbiotik, di mana negara memberi kebebasan atau perlindungan hukum kepada oligarki media, sementara oligarki memberikan dukungan politik atau ekonominya kepada negara. 

Dan apabila negara sudah berkolaborasi dengan oligarki media maka secara tidak langsung oligarki media dapat secara mudah untuk mengintervensi negara dalam membuat regulasi utamanya mengenai pengaturan platform OTT.

RUU Penyiaran Menjadi Solusi

Produk Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah menjadi kamus usang yang dianggap sudah tidak lagi relevan dengan kondisi penyiaran yang hari ini sudah banyak berubah, menjamurnya platform OTT sangtlah bebas di Indonesia karena UU Penyiaran sebagai landasan hukum bagi insan penyiaran tidak dapat mengatur keberadaan platform OTT itu sendiri. 

Sehingga dengan kondisi seperti ini dipandang perlu untuk melakukan percepatan terhadap revisi Undang -  Undang Penyiaran yang didalamnya harus dapat mengatur keberadaan dan konten yang dihasilkan dari platform OTT seperti Netflix, Youtube, Disney+ Hotstar, dan masih banyak lagi.

Secara tidak langsung apabila dalam RUU Penyiaran itu mengatur keberadaan OTT membuat konten-konten yang dihasilkan memiliki batasan yang tegas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh tayang di Indonesia. Sehingga kedaulatan negara secara informasi dapat ditegakkan sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia.

Akhir kata, perkembangan platform Over-the-Top (OTT) telah menantang eksistensi televisi sebagai media penyedia informasi dan hiburan di Indonesia. 

Digitalisasi yang memudahkan akses informasi membuat masyarakat lebih memilih konten yang sesuai dengan kebiasaan mereka, sementara regulasi yang ada sering kali membatasi kreativitas televisi. 

Dalam menghadapi tantangan ini, negara perlu hadir sebagai pengatur yang lebih tegas, tidak hanya mengatur media konvensional, tetapi juga mengontrol konten platform OTT agar tetap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan pendidikan yang diinginkan. 

Revisi terhadap Undang-Undang Penyiaran menjadi langkah penting untuk memastikan konten yang dihasilkan oleh OTT tetap mengedukasi dan mendukung demokrasi, serta menghindari pengaruh negatif dari oligarki media yang dapat merusak tatanan negara. (*)

Disclaimer: Sudut Pandang adalah komitmen AyoBacaNews.com memuat opini atas berbagai hal. Tulisan Sudut Pandang bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis. Penulis, Muhamad Harikal Ramadhan Pohan adalah Mahasiwa Pascasarjana FIKOM Unpad.

 

Konten Rekomendasi (Ads)