Revisi UU Penyiaran Diduga Melarang Konten Jurnalisatik Investigasi, Ini Penjelasan Anggota Komisi I DPR RI

Rabu, 15 Mei 2024 | 10:47
Revisi UU Penyiaran Diduga Melarang Konten Jurnalisatik Investigasi, Ini Penjelasan Anggota Komisi I DPR RI
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta menjabarkan isi RUU Penyiaran dalam draf terbaru. Dok: dpr.go.id.
Penulis: Pipin L H | Editor: Pipin L H

AyoBacaNews.com - Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta menjabarkan, perihal maksud larangan konten jurnalistik investigasi yang tertera dalam draf terbaru Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.

Menurut Sukamta, yang diatur dalam beleid tersebut bukan merupakan jurnalisme investigasi yang berkaitan dengan pendalaman terhadap suatu kriminal tertentu, misalnya membongkar bisnis makanan yang tidak sehat, judi online, dan sindikat narkotika.

"Tapi yang dimaksud (pelarangan konten siaran) itu adalah penggunaan frekuensi publik untuk penyiaran gosip dengan hak eksklusif. Misalnya, ada artis nikah terus disiarkan berhari-hari secara eksklusif menggunakan frekuensi publik. Itu yang diatur," kata Sukamta dalam keterangannya, dikutip dari laman dpr.go.id.

Sukamta pun menjelaskan, terkait perselisihan terhadap suatu pemberitaan yang dilayangkan satu di antara pihak.

"Tapi kalau yang dimaksud adalah larangan terhadap jurnalisme untuk melakukan investigasi, saya kira itu tidak pas, dan kalau itu terjadi ya, nanti kami akan menentang itu ya," katanya.

Politisi Fraksi PKS ini mengatakan, selama ini kalau ada perselisihan antara media penyiaran dengan seseorang atau satu pihak, mekanisme penyelesaiannya dapat dilakukan dengan dua cara.

Pertama, melalui Hak Jawab. Kedua, jika masih berperkara dapat dilanjutkan ke pengadilan.

Jadi, tambahnya, kalau proses penyelesaian perselisihan ini hanya dilakukan dengan dua hal tersebut, seringkali yang terjadi selama ini adalah begitu kerasnya benturan dua pihak.

Sehingga, Sukamta, menginginkan adanya mekanisme media di antara Hak Jawab dan Pengadilan.

"Nah siapa yang diberi kewenangan mediasi? karena ini babnya adalah soal penyiaran, kita berpikir KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), yang paling pas untuk diberikan kewenangan sebagai mediator di situ," katanya.

Dengan mekanisme seperti itu, ia menjamin kewenangan Dewan Pers tidak akan terganggu karena fungsi dari KPI hanya terkait dengan penyiaran.

"Mungkin nanti kalau penyiaran ini sebagai bagian dari media, saya kira perlu diskusi Dewan Pers dengan Komisi I ya, supaya ada solusi untuk kasus di penyiaran. Apakah misalnya perlu Lex Specialis, ya. Nah mudah-mudahan lebih jelas," katanya.

Sebelumnya, Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran banyak mengalami penolakan dari masyarakat.

Revisi yang sedang berjalan ini dikhawatirkan mengancam kebebasan jurnalis hingga ruang digital.(*)

Konten Rekomendasi (Ads)