MENGUTIP apa yang disampaikan Gita Wirjawan dalam podcastnya, bahwa kekhawatiran kita saat ini adalah ketidakmampuan anak-anak kita dalam menyelami sisi spiritualitas dan bersikap rasionalitasnya.
Anda sebagai siapapun pernah tidak merenung dan memikirkan diri Anda dari 5 hingga 10 tahun lalu dengan saat sekarang, perubahan apa yang Anda dapatkan. Apakah kenaikan pangkat, kekayaan bertambah atau hal lain bersifat material?.
Bagi manusia luar biasa semua itu hanya sebuah pencapaian angan belaka, akan segera hilang apabila tidak menjaganya. Dia bagai angin lalu yang berhembus dari barat ke timur, dari kanan ke kiri.
Sebagai contoh, sering kita melihat seorang menteri ketika berkunjung di sebuah daerah dia dikelilingi oleh para ajudan dan dihampiri oleh banyak orang karena ketenaran jabatannya.
Di sisi lain pada saat jabatan itu lepas dia bagai buih dilautan hilang tanpa tanda tanya. Karena apa?
Karena kemampuan dalam dirinya dibawah rata-rata, dan tidak dapat menjadi teladan sepanjang masa. Idealnya apabila pernah menjadi tokoh, maka seumur hidupnya menjadi mata air bagi anak muda, khususnya masa kini.
Lalu beranjak pada persoalan generasi bangsa, terkhusus pada milenial dan Gen Z. Nasib tak baik bagi anak-anak yang lahir di era itu, kehidupan zaman ini bagai makhluk buas yang siap menerkam anak-anak kita.
Saat lahir hingga dewasa mereka dibubuhkan dengan teknologi dan informasi media sosial yang tak kunjung berhenti. Distraksi berlebihan yang mereka konsumsi seperti obat yang hendak siap membius spiritualitas dan kognitifnya.
Era digital ini membuat manusia tidak mampu berpikir kritis terhadap persoalan individunya, terlebih lagi mengenai kemampuan untuk mengembangkan spiritualitas dan rasionalitas.
Sangat jauh apabila berbicara soal bangsa dan negara, cukup berbicara di lingkup individual saja. Bagaimana kemampuan berpikir kritis, bagaimana menciptakan spiritualitas yang kuat pada diri sendiri.
Masalah di atas tidak hanya diidap oleh kalangan anak muda Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Sudah banyak teori yang dipublikasikan oleh para ilmuwan dunia, baik ilmuan kedokteran ataupun ilmuwan lainnya.
Mengkonsumsi gadget atau smartphone lebih dari 8 hingga 10 jam membuat anak-anak kita kecanduan dan berakhir dengan istilah brain root.
Brain rot adalah kondisi penurunan mental yang disebabkan oleh konsumsi konten digital berkualitas rendah secara berlebihan dan terus-menerus.
Peran orang tua dan Policy
Lagi-lagi di sini peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mengawasi anak-anak Indonesia agar tidak berlebihan mengkonsumsi konten tidak berkualitas. Menjaga pola kehidupan anak-anak bukan hanya sekadar urusan rumah tangga pribadi setiap keluarga, tetapi lebih dari itu.
Jika semua anak diakumulasi maka persoalan bangsa ke depan menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu banyak pihak yang harus dilibatkan, keseriusan pemerintah dalam mengatur kebijakan dan pengawasan orang tua yang super ketat.
Memang, mengurus dan mendidik anak-anak tidaklah muda. Pribadi sebagai orang tua merasakan betul bagaimana masa sulitnya menghadapi mereka di zaman sekarang. Di satu sisi orang tua wajib mencari nafkah lalu di sisi lain mereka para ibu, bapak wajib mendidik anaknya.
Tapi bagaimanapun kewajiban mencari nafkah tidak boleh menjadi tembok penghalang bagi kewajiban mendidik anak-anak. Hukumnya fardu ain karena itu pekerjaan yang paling mulia di sepanjang kehidupan para orang tua.
Mengadopsi Cara Negara Maju
Sebagai bangsa yang besar jangan pernah berhenti belajar, terlebih belajar di negara-negara maju seperti Tiongkok, Jepang, Australia. Kita harus mengakui keberhasilan mereka dalam mendidik anak-anak untuk masa depan negara mereka.
Tidak ada yang salah apabila bangsa ini dapat mengadopsi sistem dan kebijakan mereka. Hentikan kejahatan kita selama ini demi alibi Hak asasi manusia. Itu semua merupakan bulshit.
Negara sebesar Indonesia ini butuh generasi muda yang aktif belajar dan kognitifnya hidup, serta spiritualitas tinggi untuk menyadari bahwa generasi tua sebelum mereka adalah generasi koruptor.
Jika semua itu tidak kita hentikan maka negara ini tidak akan pernah mencapai tujuan yang sebenarnya atau visi besar bangsa Indonesia. Sebagai anak bangsa tentu optimis bahwa Indonesia akan menjadi negara maju.
Seluruh komponen telah ada, sumber daya manusia, sumber daya alam yang melimpah. Dengan catatan apabila negara menyiapkan skema atau konsep, yang memikirkan sustainable bangsa ini dengan menyiapkan generasi yang hebat secara pendidikan. Tidak melulu memikirkan individu dan kelompok segelintir orang.
Tulisan ini bukan untuk menasehati, tapi merupakan bahan renungan kita sebagai rakyat yang masih peduli dengan kondisi bangsanya.
Terakhir, diumur Indonesia yang kian menunjukan arah kematangan sebagai bangsa tentu selalu akan ada masalah besar yang dihadapi. Seperti halnya peribahasa lama pohon jika semakin tinggi maka angin semakin kencang menerpa. Begitulah Indonesia ke depan.
*Disclaimer: Sudut Pandang adalah komitmen AyoBacaNews.com memuat opini atas berbagai hal. Tulisan Sudut Pandang bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis. Penulis adalah Abdul Haris aktivis Banten.