PIK 2 Pembangunan Tanpa Keadilan, Mengorbankan Rakyat demi Ambisi Kapitalis

Minggu, 22 Desember 2024 | 06:00
PIK 2 Pembangunan Tanpa Keadilan, Mengorbankan Rakyat demi Ambisi Kapitalis
Foto udara penampakan proyek PSN PIK 2 yang diprotes aktivis. foto: PIK 2.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

ADA sesuatu yang sunyi di balik gemerlap mega proyek di utara Tangerang. Sebuah kota buatan yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan. Namun, menyimpan cerita getir di bawah permukaan.

Jika kita berdiri di tepi jalan yang baru diaspal, mungkin akan terpana oleh rencana besar di sekelilingnya. 

Namun di tanah yang sama, suara-suara rakyat yang pernah tinggal di sana, teredam oleh deru alat berat.

Pesisir yang pernah menjadi rumah bagi burung-burung migran dan nelayan sederhana, perlahan berubah wajah. 

Digantikan oleh beton, besi, dan kaca. Gambaran kemegahan tiada dua. Tapi, untuk siapa?

Mereka kehilangan rumah, tanah, mimpi, cita-cita, dan harapan. Semua demi mega pembangunan yang disebut Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. 

Terbaru, PIK 2 mendapat keuntungan berlimpah lantaran program Proyek Strategis Nasional (PSN)

Megah, modern, dan menjanjikan segalanya. Namun, jika kita menggali lebih dalam, adakah harga yang pantas untuk sebuah pembangunan tanpa keadilan. Nyawa manusia seolah tak ada harganya. 

Penggusuran, intimidasi, dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat kecil menjadi bayangan kelam dari ambisi besar ini. 

Kegetiran mereka sunyi. Tak terdengar oleh para para pemodal, juga pemerintah pusat. 

Perlawanan masyarakat kecil, termasuk aktivis yang membela mereka dibalas tekanan. 

Mereka dipaksa diam, sementara beton-beton raksasa terus berdiri. Tanpa henti. 

Ada hal yang lebih membuat hati makin ngilu, yaitu dukungan dari sebagian mahasiswa. 

Generasi muda yang seharusnya kritis dan berdiri bersama rakyat kecil, justru memilih berdiri di sisi para pemodal.

Dengan alasan kemajuan ekonomi serta sinergitas pembangunan pemerintah dan swasta, mereka seolah memejamkan mata. Tak peduli terhadap derita rakyat yang terpinggirkan.

Padahal sebagian dari mereka pernah menyuarakan korban pembangunan PIK 2. 

Perampasan tanah, pembatasan jam operasional truk, hingga penggalangan dana untuk korban meninggal dunia. 

Namun, kepedulian itu seakan hilang begitu saja, ketika mereka duduk di ruangan ber-AC. 

Bersama pejabat dan pemodal. Dengan dalih mendukung transparansi pembangunan. 

Narasinya sangat dangkal. Mereka lupa, ada yang lebih tinggi dari segalanya: kemanusiaan. 

Sebab pembangunan tidak bisa disebut sukses jika meninggalkan jejak penderitaan. 

Mereka abai terhadap dampak ekologis dari alih fungsi lahan besar-besaran.

Para mahasiswa itu, memilih mendukung narasi pemodal dan pengembang tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. 

Sungguh ironi, generasi yang disebut agen perubahan ini justru mendukung status quo.

Tapi, ini bukan akhir cerita. Masih ada para aktivis dan masyarakat sipil yang peduli. Kita bisa saling mengingatkan. 

Bahwa mendukung pembangunan tidak harus menutup mata terhadap penderitaan orang lain.

Kita bisa membantu aktivis yang berjuang di lapangan. Menyuarakan kebenaran dan mendukung hak-hak warga terdampak. 

Memberi support kepada mahasiswa yang masih peduli pada masyarakat kecil. 

Mungkin tidak semua mahasiswa paham, bahwa pembangunan tanpa keadilan hanyalah perpanjangan dari ketimpangan yang sudah ada. 

Dengan kata lain, menciptakan masyarakat miskin baru. 

Meskipun PSN-PIK 2 dipromosikan sebagai proyek prestisius, dampaknya terhadap masyarakat kecil dan lingkungan tidak dapat diabaikan. 

Dukungan tanpa kritik dari sebagian mahasiswa menunjukkan kurangnya empati terhadap penderitaan warga terdampak. 

Sebagai masyarakat kelas menengah yang peduli, kita harus berdiri bersama para aktivis. Memperjuangkan keadilan dan menolak segala bentuk intimidasi. 

Apakah kita akan membiarkan ketidakadilan ini terus berlanjut? Mari berjuang bersama. (*)

Disclaimer: Sudut Pandang adalah komitmen AyoBacaNews.com memuat opini atas berbagai hal. Tulisan Sudut Pandang bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis. Penulis, Subandi Musbah adalah Direktur Visi Nusantara.

Konten Rekomendasi (Ads)