AyoBacaNews.com - Tak ada yang menyangka jika anak 13 tahun bisa gelap mata hingga membuat nyawa ustazah melayang.
Persitiwa memilukan tersebut terjadi di sebuah pondok pesantren (Ponpes) di Jl Danau Rangas, Palangkaraya, Kalimatan Tengah (Kalteng).
Santri berusia 13 tahun berinisial FA tersebut menghabisi gurunya sendiri berinisial N (35).
Aksi brutal santri tersebut terjadi pada Selasa, 14 Mei 2024 sekira pukul 23.00 WIB.
Kapolresta Palangkaraya, Kombes Budi Santosa mengatakan, awalnya pelaku tidur di masjid di lingkungan pesantren.
Pelaku bangun pukul 23.00 WIB, kediaman pergi ke rumah ustazah yang juga berada di lingkungan yang sama.
Saat kejadian, pelaku mendapati rumah dan kamar korban tidak terkunci lalu masuk.
"Pelaku masuk melalui jendela. Tidak terkunci. Kemudian mengambil pisau yang berada di dapur," ucap Budi.
Pelaku menurut pengakuannya, kata polisi, langsung masuk ke kamar dan menusuk korban yang sedang tidur pada bagian wajah dan dada.
"Bagian kepala korban sebanyak delapan tusukan dan di dada sebanyak satu tusukan," lanjut Budi.
Saat itu, korban berteriak minta tolong. Kemudian teriakan korban terdengar seorang guru pesantren lain, dan langsung berbegas mendatangi lokasi kejadian.
Korban ketika itu sudah bersimbah darah. "Pengurus pesantren bergegas membawa korban ke RS Bentang Pambelum untuk dilakukan pertolongan medis. Namun nyawa korban tak tertolong," jelas Budi.
Sementara itu, Kasatreskrim Polres Palangkaraya, Kompol Ronny M Nababan mengatakan dugaan sementara motif korban membunuh gurunya karena dendam.
Saat itu pelaku mengaku dirinya kerasukan. Namun di sisi lain, pelaku mengaku dendam pada korban.
"Pelaku merasa seperti kerasukan dan tidak sadar lagi karena dendam lama (pada korba)," ungkap Ronny.
Kata ahli
Menurut para ahli sebagaimana dikutip AyoBacaNews.com dari beberapa sumber, ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan anak kecil menjadi marah lalu pada titik tertentu bisa menjadi pembunuh, berikut di antaranya:
Faktor internal:
Gangguan mental atau neurologis: Anak-anak dengan gangguan mental seperti psikopati, skizofrenia, atau depresi berat, lebih berisiko untuk melakukan tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan. Gangguan neurologis seperti cedera otak juga dapat memengaruhi kemampuan anak untuk mengendalikan emosinya dan membuat keputusan yang rasional.
Riwayat pelecehan atau trauma: Anak-anak yang pernah mengalami pelecehan fisik, emosional, atau seksual, lebih berisiko untuk menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Trauma ini dapat mengganggu perkembangan otak anak dan membuatnya lebih mudah marah, impulsif, dan agresif.
Kurangnya kemampuan regulasi emosi: Anak-anak yang belum mampu mengendalikan emosinya dengan baik, lebih mudah frustrasi dan marah. Hal ini dapat membuat mereka lebih mudah melakukan tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan, ketika mereka merasa kewalahan oleh emosinya.
Faktor eksternal:
Pengaruh lingkungan yang penuh kekerasan: Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan, seperti di rumah yang penuh pertengkaran atau di lingkungan yang rawan kriminalitas, lebih berisiko untuk menjadi pelaku kekerasan.
Mereka terbiasa melihat kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, dan mereka mungkin tidak belajar bagaimana menyelesaikan konflik dengan cara yang damai.
Kurangnya pengawasan dan pengasuhan: Anak-anak yang kurang diawasi atau diasuh dengan baik, lebih berisiko untuk terlibat dalam kegiatan yang berbahaya, termasuk kekerasan.
Orang tua atau pengasuh yang tidak memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada anak, juga dapat membuat anak merasa tidak dicintai dan tidak berharga.
Hal ini dapat membuat anak lebih mudah terpengaruh oleh teman sebaya yang negatif atau terlibat dalam kegiatan kriminal.
Akses yang mudah ke senjata: Anak-anak yang memiliki akses yang mudah ke senjata, lebih berisiko untuk menggunakannya untuk menyakiti orang lain.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua anak yang memiliki faktor risiko ini akan menjadi pembunuh.
Ada banyak faktor lain yang dapat memengaruhi apakah seorang anak akan melakukan tindakan kekerasan atau tidak, seperti kepribadian, kecerdasan, dan kemampuan koping. (*)