'MANUSIA adalah makhluk sosial' begitu kalimat yang sangat mengental di kalangan masyarakat. Sebuah kalimat yang multitafsir, dan beragam dalam mengekspresikannya.
Sesuai dengan kapasitas dan nuraninya sendiri. Ada yang dengan menjadi konseptor sosial seperti para guru, pemuka agama, dan para ideologis. Ada yang mengekspresikan sosial itu melalui pergerakan dengan mendeskripsikan realita sosial, adapula para kapitalisme sosial yang hanya mengambil untung dari aktivitas sosial, seperti para pedagang.
Dan adapula yang hanya menjadi pengamat. Sosial hanya disaksikan atau dituliskan saja tanpa ada ekspresi apapun, dan lainnya. Semua itu berkaitan dengan aktivitas manusia yang disebut sosial.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih dengan beredarnya berbagai desain teknologi, mereka berproses dengan hasratnya masing-masing. Sebagian dari mereka ada yang kreatif dengan menggunakannya sebagai pembantu kegiatan sehari-hari, sehingga teknologi dirasakan kemanfaatannya.
Namun, adapula yang justru menjadi korban dari teknologi sehingga mereka lupa tugas kemanusiaan, sehingga mereka pun malah merasakan dampak negatif dari teknologi.
Berbagai survei dilakukan dengan gencar tentang manfaat, dan madharat dari media sosial. Hanya menjadi sebuah monumen angka yang siap membusuk dalam folder pribadi, atau media massa yang tak pernah dihiraukan oleh pembacanya, karena minimnya populasi manusia pembaca.
Fitur-fitur dan konten yang menarik bertebaran dengan cepat, sehingga manusia tersibukan oleh daya tarik desain mereka. Interaksi jarak jauh sudah bukan lagi halangan bagi kawanan manusia.
Teknologi komunikasi menjawab kegelisahan manusia dengan segala konsekuensi yang melatarinya. Setidaknya dengan media ini manusia tidak menjadikan jarak dan waktu sebagai pemutus silaturahmi.
Di sisi lain, media ini juga mampu mendatangkan banyak penghasilan tanpa bekerja seperti kuda dengan mengeluarkan tenaga. Dengan cara berbisnis online, penulis online, atau menjadi konten kreator dengan orientasi adsense.
Dengan adanya fenomena ini, maka bisa dipastikan bahwa zaman ini sebagai masa kejayaan media sosial atau online. Maka idealnya menjadi masa kejayaan 'silaturahmi' pula.
Artinya seharusnya kita menjadi kaya atau bahkan mendadak kaya selama kita mempunyai smartphone dengan media sosial di dalamnya. Karena silaturahmi akan mendatangkan 'rizki yang luas dan umur yang panjang'.
Mengingat sebuah janji Nabi Saw:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: Barang siapa yang senang diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi (HR. Bukhari-Muslim).
Pertanyaanya: Apakah kita sudah kaya? Apakah umur kita menambah? Mungkin ada macam pemecahan masalahan dalam menyikapi hal ini.
Pertama, pengertian rezeki yang luas. Dan kedua, umur yang panjang. Dalam beberapa literatur akan di bahas mengenai hal ini. Namun fokus obrolan kita adalah tentang media sosial sebagai media silaturahmi.
Berbagai fenomena di sekitar kita berkata lain, justru dengan media ini malah menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Formatur yang bermasyarakat tetap berlanjut dan sama sekali kontraproduktif.
Ini disebabkan karena sifatnya menggantikan dan menggerus fenomena. Smartphone dengan media sosial dan serba-serbi onlinenya hanya mendekatkan sesuatu yang jauh, tapi malah menjauhkan yang sesuatu dekat.
Maka variabelnya tetap satu. Kita bisa menganalogikan seperti ini, 'zaman dulu yang dekat semakin dekat, yang jauh menjadi dekat' ada keseimbangan didalamnya, dekat dan jauh. Lalu 'zaman sekarang yang jauh menjadi dekat, tapi yang dekat menjadi jauh'.
Menurut Robert Kraut dengan teori kesenjangan sosial (social displacement theory) nya berpendapat bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mengurangi kualitas dan kuantitas interaksi sosial tatap muka.
Waktu yang dihabiskan untuk berkomunikasi secara online dapat menggantikan waktu yang dihabiskan untuk interaksi langsung dengan orang-orang di sekitar kita, yang berpotensi merusak hubungan sosial yang lebih dekat.
Melihat analogi ini, maka alat komunikasi hanya sebagai pengganti saja, bukan sebagai pelengkap. Seharusnya 'yang dekat semakin dekat dan yang jauh menjadi dekat'. Sebuah transformasi sosial yang sangat mapan.
Saat ini memang teknologi semakin canggih tetapi belum mampu merekontruksi sosial manusia sehingga merevolusi vitalitas dari drama sosial kehidupan. Dengan kata lain alat canggih belum mampu membuat sosial manusia canggih. Pada akhirnya, media sosial malah menentang sosial.
Maka daripada itu penulis ingin mengajak semuanya untuk sejenak merenungi falsafah Raden Said atau yang lebih familiar dengan sebutan sunan kalijaga, 'anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli' yang artinya menyesuaikan aliran air, tapi jangan terbawa arus.
Dengan kata lain mustahil kita untuk melawan kencang nya arus globalisasi ini, namun tidak juga jika harus terbawa arus. Artinya tetap ada kontrol sosial kita sebagai manusia.(*)
Penulis: Kepala Sekolah SMK Bina Bangsa, Eki Dwi Pratama, S.Sos.
Disclaimer: Sudut Pandang adalah komitmen AyoBacaNews.com memuat opini atas berbagai hal. Tulisan Sudut Pandang bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.