AyoBacaNews.com, Jakarta – Dalam sebuah rapat penting yang berlangsung di Komisi 8, isu terkait persetujuan usulan yang melibatkan haji khusus memicu perdebatan sengit. Pimpinan komisi merasa perlu meluruskan beberapa pernyataan yang beredar terkait pengambilan keputusan mereka.
"Saya akan sedikit kembali ke persoalan masalah ini. Kronologi: Iya, karena di Komisi saya termasuk unsur pimpinan, saya ini merasa terus terang. Kok ada kata-kata 'Pimpinan Komisi VIII memahami usulan tersebut,'. Artinya kami menyetujui. Pak, Bapak telepon saya, kan? Tidak setuju, kan? Ini tidak puasa, itu ya," tanya anggota Pansus DPR RI, Abdul Wachid.
Pimpinan Komisi 8 mengungkapkan ketidakpuasan terhadap penggunaan frasa seperti "Pimpinan Komisi 8 memahami usulan tersebut," yang dinilai mengesankan persetujuan yang sebenarnya tidak pernah ada.
"Kami tidak setuju dengan apa yang diusulkan. Ini tidak sesuai dengan pandangan kami, dan kami merasa frasa tersebut keliru," ujar Pimpinan Komisi 8.
Isu utama yang disoroti adalah alih fungsi dana sebesar 10.000 untuk haji khusus, yang dianggap tidak sesuai dengan rencana awal.
"Kami tidak mau diasakan, diajakkan, diadakan Panja lagi. Ini tidak memungkinkan dan sudah kami ajukan dalam Rapat Kerja (Raker) serta menjadi Kepres. Keputusan tersebut harus dicabut," tegas Pimpinan.
Komisi 8 juga menyoroti masalah administratif terkait pembuatan dokumen. Pimpinan menyatakan bahwa kata-kata yang tertulis dalam dokumen tersebut tidak sesuai dengan keputusan komisi.
"Yang membuat siapa? Perlu bertanggung jawab. Kami tidak setuju dengan kata-kata yang digunakan dalam dokumen tersebut," tambah Pimpinan.
Rapat tersebut juga mencatat bahwa tidak ada rekaman yang mendukung keputusan yang diambil. "Kami ngobrol di ruang makan, di tempat, di ruang Komisi. Tidak ada rekaman yang menunjukkan persetujuan kami terhadap usulan tersebut," jelas Pimpinan.
Masalah ini semakin kompleks dengan adanya ketidaksesuaian antara dokumen dan keputusan sebenarnya. Pimpinan Komisi VIII menegaskan pentingnya klarifikasi dan revisi agar keputusan yang diambil sesuai dengan niat dan keputusan yang sebenarnya.
"Mana rekamannya? Mana? Dan memang itu tidak direkam, Pak, karena kita saat itu ngobrol di ruang makan, di tempat, di ruang Komisi. Bapak kan minta itu, kita tidak setuju. Iya, benar. Tidak betul kok bikin kata-kata 'memahami,' 'menyuruh,' apa ini?" (*)