AyoBacaNews.com, Jakarta - Program Merdeka Belajar yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menjadi tonggak penting dalam reformasi pendidikan di Indonesia.
Salah satu pilar utama dari program ini adalah Guru Penggerak, yang dipilih dengan cermat berdasarkan kriteria tertentu. Mereka dianggap sebagai yang terbaik di antara para guru, sehingga mendapatkan fasilitas pembelajaran yang variatif dan terstruktur untuk menunjang peran mereka sebagai pionir dalam peningkatan prestasi akademik siswa.
Namun, di balik gebrakan ini, muncul kritik dari Komisi X DPR RI yang menilai bahwa pemerintah terlalu terfokus pada pemberdayaan Guru Penggerak dan mengabaikan para guru lainnya.
Anggota Komisi X DPR RI, Zainuddin Maliki, menyuarakan keprihatinannya terhadap ketidakmerataan perhatian dan sumber daya yang diberikan kepada guru nonpenggerak.
“Hanya guru penggerak yang didanai, yang diberi pelatihan, yang diberi seminar, diedukasi dilatih. Justru yang di bawah ini (guru nonpenggerak) diapain? jumlah yang segitu banyak itu diapain? Ini harus menjadi perhatian. Ini yang harus dapat sentuhan karena jumlahnya banyak,” tegas Zainuddin dikutip dari dpr.go.id Selasa, 27 Agustus 2024.
Kritik ini juga didukung oleh Anggota Komisi X DPR RI lainnya, Anita Jacoba Gah, yang memperingatkan potensi diskriminasi terhadap guru nonpenggerak jika kondisi ini dibiarkan.
Anita menilai bahwa fenomena ini bisa menyebabkan adanya diskriminasi kepada guru nonpenggerak. Ia meminta agar pemerintah bisa membuka program yang bisa diikuti oleh seluruh guru di Indonesia agar mereka tetap diberdayakan.
Masalah yang diangkat Komisi X ini menggambarkan potensi ketidakmerataan dalam pemberdayaan guru, yang dapat berujung pada ketimpangan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Selain itu, program Guru Penggerak juga masih menghadapi tantangan dalam penentuan tolok ukur keberhasilan yang ideal.
Saat ini, keberhasilan program lebih banyak diukur dari jumlah pelatihan yang diikuti oleh Guru Penggerak. Zainuddin Maliki menekankan bahwa ukuran keberhasilan ini perlu diperluas, mencakup dampak nyata terhadap siswa yang mereka ajar. Tolok ukur seharusnya tidak hanya berbasis pada pelatihan, tetapi juga pada seberapa baik siswa menerima dan memahami materi dari Guru Penggerak.
Dengan berbagai kritik dan saran yang dilontarkan oleh Komisi X, pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kembali pendekatan mereka dalam pelaksanaan program Merdeka Belajar.
Keseimbangan antara pemberdayaan Guru Penggerak dan guru nonpenggerak harus diperhatikan agar seluruh guru di Indonesia bisa berperan aktif dalam memajukan pendidikan. Hanya dengan demikian, tujuan mulia Merdeka Belajar untuk menciptakan pendidikan yang inklusif, merata, dan berkualitas bisa benar-benar tercapai.(*)