AyoBacaNews.com - Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan meyakini, bahwa beleid revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran akan lebih sempurna dengan keterlibatan publik.
Apalagi, belakangan ini draf RUU Penyiaran menuai kontroversi, terutama Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi sorotan dikarenakan, terdapat muatan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.
'Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagai dimaksud pada ayat (1), SIS (standar isi siaran) membuat larangan mengenai:.., (c) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi' demikian bunyi Pasal 50 B ayat 2 huruf (c).
"Saya kira masukan masyarakat sangat penting, proaktifnya masyarakat akan bermanfaat untuk penyempurnaan revisi UU Penyiaran," kata Farhan dalam keterangannya, dikutip dari laman dpr.go.id, Senin 27 Mei 2024.
Menurutnya, RUU Penyiaran ini berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita maupun platform terestrial versus jurnalisme platform digital.
Pada beleid revisi UU Penyiaran tersebut terdapat peran dari Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.
"Ini kan, lagi perang ini. Jadi, revisi UU yang ada ini atau draf UU yang ada sekarang itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran teresterial," kata Farhan.
Politisi Fraksi Partai NasDem itu mengatakan, teresterial dimaknai penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UGF, seperti halnya penyiaran analog namun dengan format konten yang digital.
Legislator Dapil Jabar I itu menjelaskan, tetapi KPI ataupun Dewan Pers tak punya kewenangan terhadap platform digital.
Dikatakan Farhan, ketika lembaga jurnalistik yang menggunakan platform digital, dan mendaftarkan ke Dewan Pers, maka itu menjadi kewenangan Dewan Pers.
"Lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di digital platform ini kan makin lama makin menjamur, nggak bisa dikontrol juga sama Dewan Pers, maka keluarlah ide revisi UU Penyiaran ini," kata Farhan.
Ia menambahkan, risiko apabila lembaga tersebut membuat produk jurnalistik di platform digital, dan tidak mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Pada tahap ini, Dewan Pers tak punya kewenangan atas lembaga tersebut.
"Risikonya apa? Kalau sampai dia dituntut oleh, misalnya saya dijelekkan oleh lembaga berita ini, saya tuntut ke pengadilan, maka tidak ada UU Pers yang akan melindungi dia, karena tidak terdaftar di Dewan Pers, kira-kira begitu," katanya.(*)