KDRT Masih Jadi 'Tradisi' yang Sulit Dihilangkan, Keberanian Cut Intan Diapresiasi KemenPPPA

Rabu, 14 Agustus 2024 | 11:20
KDRT Masih Jadi 'Tradisi' yang Sulit Dihilangkan, Keberanian Cut Intan Diapresiasi KemenPPPA
Atas keberanian Cut Intan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memberi apresiasi. @cut.intannabila.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

AyoBacaNews.com, Jakarta - Kejadian memilukan dialami selebgram cantik Cut Intan Nabila. Dia menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang dilakukan suaminya sendiri, Armor Toreador.

Cut Intan tak tinggal diam saat diperlakukan tak wajar suaminya itu. Dia memviralkan aksi tak terpuji suaminya.

Tak lama dari viralnya kejadian yang dialami Cut Inta, Armor Toreador langsung disergap polisi di tempat persembunyiannya. Gercep kan kalau viral?

Atas keberanian Cut Intan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memberi apresiasi.

Tak banyak korban KDRT yang berani melakukan langkah hukum pada pelakunya. Pihak kementrian mengecam keras segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, meminta semua korban KDRT bicara dan berani melaporkan kasus kekerasan yang dialami.

Ditegaskannya, korban KDRT jangan takut terstigma oleh masyarakat terkait apa yang sudah dialami.

"Kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok rentan tidak bisa kita toleransi lagi. Terlebih kekerasan tersebut terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman dan dilakukan oleh orang terdekat korban," kata Ratna dalam keterangannya pada Rabu, 14 Agustus 2024.

Ratna membenarkan jika korban KDRT harus berani bersuara dan segera melaoprkan peristiwa tersebut.

KDRT Tradisi di Indonsia

Dirangkum dari beberapa literasi, KDRT menjadi masalah serius dan kompleks di Indonesia. 

Bahkan seringkali dianggap sebagai suatu tradisi yang sulit dihilangkan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, antara lain:

1. Budaya Patriarki:

Peran gender: Budaya patriarki yang kuat menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan perempuan pada posisi subordinat. Hal ini menciptakan norma sosial yang membenarkan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Hak kepemilikan: Laki-laki sering dianggap sebagai kepala keluarga yang memiliki hak penuh atas keputusan keluarga, termasuk penggunaan kekerasan sebagai alat untuk mengontrol.

2. Norma Sosial dan Stigma:

Aib keluarga: KDRT sering dianggap sebagai masalah pribadi atau aib keluarga yang harus diselesaikan di dalam rumah tangga. Korban sering merasa malu dan takut untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.

Stigma terhadap korban: Korban KDRT seringkali disalahkan dan dianggap sebagai penyebab masalah. Hal ini membuat korban enggan mencari bantuan.

3. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan:

Minimnya edukasi: Banyak masyarakat, terutama di daerah pedesaan, kurang memahami tentang KDRT dan dampaknya.

Kurangnya akses informasi: Informasi tentang layanan bantuan bagi korban KDRT seringkali sulit diakses.

4. Lemahnya penegakan hukum:

Proses hukum yang panjang dan rumit: Proses hukum untuk kasus KDRT seringkali panjang dan rumit, membuat korban merasa putus asa.

Minimnya hukuman: Hukuman bagi pelaku KDRT seringkali dianggap terlalu ringan, sehingga tidak memberikan efek jera.

5. Faktor ekonomi:

Ketergantungan ekonomi: Banyak korban KDRT secara ekonomi bergantung pada pelaku. Hal ini membuat mereka sulit untuk meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan.

Upaya Mengatasi KDRT:

Peningkatan kesadaran: Melalui kampanye dan edukasi, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang KDRT.

Penguatan hukum: Perlu adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku KDRT.

Perlindungan bagi korban: Korban KDRT perlu diberikan perlindungan yang lebih baik, baik secara fisik maupun psikologis.

Pemberdayaan perempuan: Perempuan perlu diberikan kesempatan yang sama untuk 
mengembangkan diri dan mencapai kemandirian ekonomi.

Perubahan sikap: Masyarakat perlu mengubah sikap dan pandangannya terhadap KDRT.
Menghapuskan KDRT adalah tugas bersama. Perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga individu, untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan. (*)

 

Konten Rekomendasi (Ads)