Jejak Perjuangan Sang Jenderal, Penyesalan Besar Sudirman atas Sikap Bung Karno yang Berunding dengan Belanda

Kamis, 27 Juni 2024 | 06:02
Jejak Perjuangan Sang Jenderal, Penyesalan Besar Sudirman atas Sikap Bung Karno yang Berunding dengan Belanda
Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nama Jenderal Sudirman merupakan satu di antara pahlawan yang sangat dicintai dan dikagumi. Foto arsip nasional.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

AyoBacaNews.com - "Saya ini tentara. Dan saya mohon dengan sangat agar Bapak Presiden keluar dari kota dan masuk ke hutan sesuai rencana, pak. Ikutlah bergerilya bersama kami, pak," itu sepenggal dialog dalam film yang mengangkat kisah kepahlawanan Jenderal Sudirman.

"Kesetiaan saya sebagai Panglima Besar dan pasukannya adalah kesetiaan mutlak bagi pemerintahan Soekarno-Hatta. Tentara kita belum padu sungguh pun di antara mereka ada yang menyimpang." 

Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nama Jenderal Sudirman merupakan satu di antara pahlawan yang sangat dicintai dan dikagumi. 

Jenderal Sudirman adalah pemimpin tingkat tinggi pertama dalam sejarah kemiliteran Indonesia. 

Jenderal Sudirman memilih masuk hutan untuk bergerilya melawan pasukan Belanda yang hendak merebut kemerdekaan dari bangsa Indonesia. 

Itulah sosok Jenderal Sudirman, pemimpin yang memiliki karisma besar serta memilih tetap setia kepada bangsa dan para pemimpinnya.

Jenderal Sudirman, atau yang dikenal dengan Raden Sudirman, lahir di Kota Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. 

Sudirman merupakan anak dari pasangan Karsit Karta Wiraji dan Siem. Karsit merupakan pekerja di perkebunan tebu. 

Namun sayang, saat itu terdapat pengurangan pekerja sehingga membuat Karsit kehilangan pekerjaannya. 

Karena keterbatasan ekonomi, akhirnya Karsit tinggal di rumah Ajeng Turidawati, kakak dari Siem yang diperistri oleh Raden Cokro Sunaro, seorang camat di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga. 

Pemberian nama Sudirman merupakan pemberian dari Raden Cokro Sunaro yang akhirnya mengangkat Sudirman sebagai anaknya.

Setelah Cokro Sunaro pensiun dari camat, Sudirman dibawa keluarganya ke Cilacap. 

Kemudian, pada tahun 1923 hingga 1930, Sudirman sekolah di Holland Indish School atau HIS. 

Tidak lama kemudian, Sudirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa, yang kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO yang berada di Banyumas. 

Kesadaran akan pentingnya berorganisasi dalam mengembangkan ilmu agamanya, Sudirman muda aktif berorganisasi di Muhammadiyah. 

Dalam organisasi Muhammadiyah, Sudirman pernah menjadi pemimpin Hizbul Wathan dan kepanduan Muhammadiyah daerah Banyumas. 

Bagi Sudirman, berorganisasi adalah pengabdian, bukan tempat mencari penghidupan. 

Sudirman kadang kala mengutamakan kepentingan organisasi daripada keluarga. 

Karena itulah, kendati menjadi pemimpin, rumah tangganya serba kekurangan. 

Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi generasi muda, Sudirman juga aktif sebagai guru di sekolah.

Dalam catatan biografi "Sudirman Prajurit Teladan" mencatat aktif sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap. 

Sudirman menjadi guru bukan semata-mata karena kekurangan. Bisa saja mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar. Mengingat saat itu beliau cukup populer sebagai pemimpin pemuda Muhammadiyah. 

Sebagai guru, Sudirman merupakan sosok yang sangat dicintai oleh murid-muridnya karena cara mengajar Sudirman yang sangat menyenangkan. 

Bahkan, Sudirman dijuluki "Guru Kecil" karena diandalkan gurunya untuk membantu teman-temannya yang sedang kesulitan dalam pelajaran.

Sudirman terpaksa melepaskan pekerjaan yang dicintainya sebagai guru. 

Saat itu situasinya tidak memungkinkan dalam menjalankan pendidikan, karena semua orang terpusat pada serangan Jepang 1942. 

Saat Jepang datang, Sudirman menjadi anggota Syu Sangikan atau semacam dewan perwakilan. 

Kesadaran akan pentingnya kemiliteran demi membebaskan Indonesia dari cengkraman penjajah. 

Meskipun bentukan Jepang, Sudirman aktif menjadi anggota dari Jawa Hokokai keresidenan Banyumas. 

Selain itu, Sudirman juga mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air atau PETA di Bogor. 

Akhirnya, pada tanggal 10 Agustus 1944, Sudirman dilantik sebagai Daidancho atau komandan batalion dan ditempatkan di Daidan 3 di Kroya, Banyumas. 

Karena kiprahnya yang sangat cemerlang dan bisa meredam secara elegan dalam peristiwa pemberontakan PETA pada tanggal 25 April 1945, Sudirman semakin mendapatkan respek yang tinggi, termasuk dari tentara Jepang.

Setelah Jepang menyerah dari Sekutu dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Soekarno menginisiasi berdirinya Tentara Keamanan Rakyat atau TKR, sekaligus penyempurna dari BKR atau Badan Keamanan Rakyat. 

Pada tanggal 20 Oktober 1945, Sudirman dilantik menjadi komandan Divisi 5 TKR di Jawa Tengah dengan menjabat sebagai Kolonel. 

Saat berada di TKR, Sudirman ikut menyusun strategi dalam Perang Ambarawa melawan tentara Sekutu.

Berkat kiprahnya dalam Perang Ambarawa pada akhir 1945, Sudirman dikenal dan semakin dipercaya dalam militer. 

Meskipun korban di pihak Indonesia jauh lebih besar dibandingkan pasukan Inggris yang menang dalam Perang Dunia Kedua kala itu. 

Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka menganggap bahwa pengunduran terpaksa dari pihak Sekutu itu adalah suatu kemenangan taktis militer.

Karena kiprah Sudirman dalam Perang Ambarawa itu, akhirnya Presiden Soekarno mempercayakan kepemimpinan tentara di tangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang sebelumnya sudah terpilih sebagai panglima tertinggi lewat voting pada tanggal 12 November 1945. 

Sebagai Panglima Besar, Jenderal Sudirman tampil sebagai sosok pemimpin yang sederhana. 

Di kalangan prajurit, Sudirman adalah sosok yang paling dihormati. Perwira-perwira yang tidak menyukainya pun tampak sulit mendongkelnya dari jabatan Panglima Tertinggi. 

Di luar internal TKR yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia atau TNI, Jenderal Sudirman fokus pada musuh yang besar dan nyata, yakni tentara Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor.

Kala itu, tentara Belanda terbilang lebih kuat dari TKR yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman. 

Di sisi lain, kala itu sebelum tentara Belanda menyerbu dan menguasai kota Yogyakarta, kondisi Jenderal Sudirman. 

Di sisi lain kalai itu sebelum tentara Belanda menyerang Yogyakarta, kondisi Jenderal Sudirman sudah tidak sehat lagi, paru-parunya bermasalah. 

Meskipun begitu, Jenderal Sudirman bersikeras memimpin gerilya dalam perang kemerdekaan agresi militer Belanda kedua yang terjadi dari tahun 1948 hingga 1949 itu sambil menghindari perburuan serdadu-serdadu Belanda yang bersenjata lengkap dan lebih terlatih dari TNI. 

Hingga muncul ungkapan, "Sudirman memimpin perang gerilya dengan satu paru-paru." 

Sudirman yang tidak sehat, namun masih mampu memimpin gerilya dalam perang yang mustahil dimenangkan Indonesia adalah kebesaran sang Panglima Besar.

Pada 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang pangkalan udara Maguwo, Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota. 

Tujuan untuk menangkap para pemimpin maupun pejabat negara dan juga menumpas Tentara Indonesia. 

Tidak lama setelah operasi gagak yang dilancarkan oleh Belanda di Yogyakarta, siang hari Belanda berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, H. Agus Salim, dan beberapa tokoh Indonesia lainnya. 

Mereka diasingkan di dua tempat, yakni Sumatera dan Pulau Bangka. Sebelum Soekarno-Hatta ditangkap oleh Belanda, mereka merencanakan untuk membuat PDRI atau Pemerintahan Darurat Indonesia yang kemudian dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. 

Sementara itu, ketika Jenderal Sudirman menjalankan perangnya, justru menerima kabar bahwa Soekarno-Hatta dan para tokoh lainnya telah menyerah dan diasingkan keluar ke Pulau Jawa.

Kabar ini mengecewakan Jenderal Sudirman. Saat itu, dia mempertanyakan kenapa Bung Karno dengan mudahnya menyerah pada penjajah. 

Ketika Belanda berhasil menguasai Yogyakarta dan terus-menerus melakukan serangan, akhirnya pada tanggal 22 Desember 1948, Jenderal Sudirman memutuskan meninggalkan Kota Yogyakarta untuk memulai perang gerilya dalam menghadapi Belanda. 

Tujuan akhir perang gerilya, Jenderal Sudirman memutuskan memilih Gunung Willis, Kediri karena dinilai strategis. 

Selama bergerilya, Jenderal Sudirman diarak dengan tandu karena kondisi Jenderal Sudirman sedang sakit parah. 

Namun, meskipun Jenderal Sudirman sakit parah, baginya tidak ada kata menyerah. Jenderal Sudirman adalah orang yang sangat gigih pendirian dan usaha secara maksimal meskipun kondisinya menyulitkan dirinya.

Selama perang gerilya, pasukan yang dipimpin Jenderal Sudirman kerap melakukan penyerangan ke pos-pos yang dijaga Belanda atau saat konvoi. 

Singkat cerita, dalam perang gerilyanya, sesampainya di Kediri, pasukan Belanda tiba-tiba menemukan tempat persembunyian Jenderal Sudirman dan kelompoknya. 

Diketahui bahwa keberadaan Jenderal Sudirman ini rupanya dilaporkan oleh seorang prajurit Jenderal Sudirman yang mana prajurit ini adalah prajurit pengkhianat. 

Meskipun begitu, sebenarnya Jenderal Sudirman mengetahui hal ini. Karena keberadaan Jenderal Sudirman diketahui oleh Belanda dalam keadaan genting, Jenderal Sudirman ini lantas mengajak para prajuritnya ini untuk menggelar zikir bersama. 

Anehnya, Belanda tidak mempercayai dan malah menembak salah satu pengkhianat itu.

Karena kehebatannya, itulah muncul anggapan bahwa Jenderal Sudirman adalah orang sakti. 

Di tengah perang Agresi Militer kedua yang tengah berlangsung, proses diplomasi melalui PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa terus dilakukan. 

Perwakilan dari Indonesia dan negara-negara yang mendukung kemerdekaan Indonesia, mendesak kepada Dewan Keamanan PBB agar supaya membuat suatu resolusi terhadap tindakan agresi militer Belanda. 

Tatkala diplomasi masih berlanjut, lewat Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan militer Indonesia berhasil menguasai pos-pos Belanda yang berada di Yogyakarta selama 6 jam. 

Serangan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ini membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih ada.

Seiring berjalannya waktu, pada awal Juli 1949, melalui Komisi PBB untuk Indonesia, perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia membuahkan hasil dengan dibebaskannya para pemimpin Republik karena Belanda mendapatkan tekanan dari PBB. 

Diketahui, Belanda sebenarnya menerima bantuan Marshall Plan dari Amerika untuk pembangunan ekonomi. 

Meskipun para pemimpin Republik sudah dibebaskan, namun gencatan senjata masih belum direalisasikan. 

Padahal gencatan senjata menjadi syarat utama untuk menggelar perundingan. 

Di sisi lain, militer Indonesia termasuk Jenderal Sudirman tidak setuju dengan adanya gencatan senjata. 

Ketidaksetujuan Jenderal Sudirman karena pihak Indonesia menerima begitu saja perjanjian Renville. 

Dengan adanya perjanjian yang terjadi di Den Haag itu, Soekarno bertujuan untuk menghentikan gerilya dengan adanya gencatan senjata dan penyerahan kedaulatan terhadap Republik Indonesia Serikat. 

Kala itu, militer dan para pejabat negara mengalami perpecahan karena berbagai kebijakan pemerintahan Soekarno. 

Untuk menghindari adanya perpecahan antara pemimpin Indonesia dengan militer, berbagai pihak berupaya untuk menghadirkan Jenderal Sudirman ke Yogyakarta. 

Atas saran Sultan Hamengkubuwono IX, akhirnya Jenderal Sudirman bersedia menghentikan perang gerilya dan kembali ke kota Yogyakarta.

Setibanya di Yogyakarta, di serambi Istana Negara, Jenderal Sudirman langsung disambut dan dipeluk oleh Presiden Soekarno. 

Dalam pertemuan antara kedua tokoh besar ini, tidak ada pembicaraan terkait gencatan senjata. 

Meskipun begitu, Jenderal Sudirman masih menolak adanya gencatan senjata karena menurut Jenderal Sudirman, gencatan senjata hanya akan memecah belah dan menghentikan kedaulatan Republik Indonesia. 

Setelah melalui berbagai perundingan, pada tanggal 1 Agustus 1949, gencatan senjata diumumkan. 

Pada hari yang sama, Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit menulis sepucuk surat kepada Presiden Soekarno. 

Dalam surat yang tidak jadi dikirimkan ke Presiden Soekarno ini, Jenderal Sudirman menyatakan berbagai akibat buruk yang timbul dari berubahnya berbagai kebijakan yang dilakukan oleh para pemimpin Republik saat itu. 

Jenderal Sudirman juga meminta persetujuan atas pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI.

Sehari setelah menulis surat pada tanggal 2 Agustus 1949, Jenderal Sudirman memanggil Wakil ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Abdul Haris Nasution, mengajak ke Istana Yogyakarta untuk menghadap ke Presiden Soekarno. 

Di hadapan Presiden Soekarno, Jenderal Sudirman menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia sebagai penolakan terhadap adanya gencatan senjata. 

Pengunduran ini ditanggapi Presiden Soekarno dengan tanggapan halus. Kemudian, sore harinya, Nasution dipanggil ke tempat Sudirman. 

Setelah Nasution membaca surat itu, Nasution menghadap Sudirman yang berbaring sakit di tempat tidur. 

Nasution menyatakan kepada Sudirman lebih penting persatuan pimpinan APRI dengan Soekarno-Hatta daripada soal strategi perjuangan. 

Bagaimanapun baiknya strategi, jika pecah antara kedua pucuk pimpinan nasional dan militer, maka perjuangan akan gagal. Akhirnya, Sudirman sependapat dengan Nasution dan surat itu tidak jadi dikirimkan.

Menurut Ruslan Abdul Gani, peranan Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam revolusi Indonesia menunjukkan sikap loyal terhadap apa saja yang menjadi keputusan pemerintahan. 

Dalam hal ini, Jenderal Sudirman selalu menandaskan bahwa tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik dan politik tentara adalah politik negara. 

Sebulan setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat atau RIS oleh kerajaan Belanda, pada tanggal 29 Januari 1950, sang Panglima Besar Jenderal Sudirman menghembuskan nafas terakhirnya di Magelang saat usianya baru 34 tahun. 

Jenazah Jenderal Sudirman dimakamkan di Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. 

Atas berbagai jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan nyawanya, pada tahun 1964 Presiden Soekarno menetapkan Panglima Besar  Jenderal Sudirman sebagai Pahlawan Nasional. (*)

Konten Rekomendasi (Ads)