AyoBacaNews.Com, Bandung- Menteri Luar Negeri Sugiono baru saja dilantik, dan langkah pertamanya adalah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi BRICS Plus di Kazan, Rusia.
Dalam pertemuan ini, Sugiono menyampaikan niat Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Sebuah aliansi negara berkembang yang sering dianggap sebagai ‘kubu perlawanan’ terhadap dominasi Barat.
Tapi, apakah bergabung dengan BRICS berarti Indonesia ikut dalam kubu tertentu? Mari kita telusuri lebih jauh tujuan BRICS dan posisi Indonesia di dalamnya.
BRICS adalah aliansi ekonomi yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Awalnya, pada tahun 2001, istilah "BRIC" diciptakan oleh ekonom Jim O'Neill dari Goldman Sachs untuk menggambarkan potensi ekonomi dari Brasil, Rusia, India, dan China, yang diprediksi akan menjadi kekuatan besar pada tahun 2050. Pada 2010, Afrika Selatan bergabung, menjadikan aliansi ini "BRICS."
Seiring waktu, fokus BRICS berkembang dari sekadar peluang investasi menjadi platform geopolitik yang bertujuan memperkuat suara negara-negara berkembang.
Mereka merasa bahwa keputusan-keputusan global seringkali didominasi oleh negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
BRICS berusaha menciptakan keseimbangan baru di mana negara berkembang memiliki peran yang lebih besar dalam isu-isu global, dari ekonomi hingga politik internasional.
Menurut Menteri Sugiono, bergabungnya Indonesia dengan BRICS bukan berarti bergabung dengan ‘kubu’ tertentu, tetapi upaya untuk mendukung multipolaritas dalam tatanan dunia.
Sugiono menegaskan bahwa keinginan ini didasarkan pada prinsip independensi politik, bukan keinginan untuk berpihak pada kekuatan tertentu.
Meski demikian, beberapa pengamat menilai BRICS memang mencerminkan aspirasi negara-negara yang ‘tidak puas’ dengan sistem yang ada.
Sebagai salah satu negara berkembang dengan pengaruh besar di Asia Tenggara, Indonesia berpeluang besar memberi kontribusi positif di panggung internasional melalui BRICS.