INDONESIA akan ada di dua persimpangan dua karakter kepemimpinan, militer dan sipil. Melihat Presiden Prabowo Subianto akan menjadi paling dominan dibanding wakilnya, Gibran Rakabuming Raka.
Terlebih anak pertama Joko Widodo itu sangat minim pengalaman, dan cenderung didapuk jadi cawapres hanya untuk mengikat pengikut Jokowi saja.
Dampak besar akan terjadi melanda Indonesi jika di tengah perjalanan ada gejolak di mana di antara keduanya saling menelikung.
Meski ada prediksi negara akan semakin aut-autan, namun kita akan menelaah andai kolaborasi militer dan sipil ini menjadi senyawa kuat memimpin Indonesia.
Dalam membahas negara demokrasi yang dipimpin kolaborasi militer dan sipil, ada beberapa teori politik dan narasi historis.
Beberapa di antaranya bisa dijelaskan dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi yang saat ini dipimpin oleh kolaborasi militer dan sipil.
Teori Dualisme Kekuasaan
Teori ini berpendapat bahwa dalam suatu negara demokrasi, kekuasaan bisa terbagi ke dalam dua komponen besar, militer dan sipil.
Ketika keduanya berkolaborasi, ada upaya untuk menciptakan stabilitas yang lebih terkontrol.
Di satu sisi, militer menjaga keamanan nasional dan teritorial, sementara pihak sipil mengatur jalannya pemerintahan melalui kebijakan politik.
Pertanyaan yang muncul, apakah Gibran akan sanggup menjalankan tugas pembagian kekuasaan tersebut?
Negara seperti Indonesia bisa dilihat sebagai contoh di mana Presiden berasal dari latar belakang sipil, namun beberapa pejabat kunci di kabinet dan berbagai lembaga negara berasal dari militer, sehingga mencerminkan kolaborasi tersebut.
Teori Civil-Military Relations (Hubungan Sipil-Militer)
Samuel P. Huntington dalam bukunya The Soldier and the State membahas bagaimana hubungan antara sipil dan militer harus berjalan dalam negara demokrasi.
Huntington berpendapat bahwa militer harus tunduk pada kontrol sipil agar demokrasi tetap bisa berjalan.
Namun, dalam praktiknya, terutama di negara-negara seperti Indonesia, pengaruh militer dalam politik tetap kuat meski kontrol sipil tetap ada.
Ini terlihat dari keterlibatan mantan jenderal militer dalam pemerintahan, dan bagaimana elemen militer seringkali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan stabilitas nasional.
Teori Transisi Demokrasi
Transisi demokrasi adalah proses di mana negara bergerak dari otoritarianisme menuju demokrasi.
Dalam konteks ini, kolaborasi militer-sipil sering terjadi di negara-negara yang mengalami transisi dari kediktatoran militer menuju demokrasi, seperti Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru.
Pada saat itu, militer memiliki peran besar dalam menjaga kestabilan politik, namun secara bertahap menyerahkan lebih banyak kekuasaan kepada elemen-elemen sipil seiring dengan meningkatnya demokratisasi.
Meskipun demikian, jejak militer dalam struktur politik tetap ada, dan ini terlihat dalam posisi-posisi strategis yang diisi oleh tokoh-tokoh militer di pemerintahan Indonesia saat ini.
Teori Militerisme Demokratis
Teori ini berargumen bahwa meski militer memainkan peran dominan dalam pemerintahan, mereka masih dapat mempromosikan demokrasi dengan menjaga hukum dan ketertiban.
Dalam kasus Indonesia, kehadiran militer di panggung politik, terutama setelah reformasi, dianggap sebagai upaya menjaga integritas nasional dan menjaga agar proses demokrasi tidak terganggu oleh ancaman dari luar maupun dalam negeri.
Namun, teori ini juga mengingatkan akan bahaya jika militer terlalu berperan dalam politik, yang bisa menimbulkan militarisasi demokrasi di mana kontrol sipil melemah.
Narasi Kontemporer tentang Indonesia
Indonesia saat ini merupakan negara demokrasi yang menggabungkan kekuatan sipil dan militer.
Presiden Joko Widodo, sebagai figur sipil, telah beberapa kali menunjuk tokoh-tokoh militer untuk posisi strategis, termasuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang merupakan mantan jenderal.
Di sisi lain, keberadaan sipil dalam kepemimpinan tetap dominan, yang menandakan adanya keseimbangan antara pengaruh militer dan sipil.
Narasi ini mencerminkan bagaimana Indonesia masih berada dalam tahap konsolidasi demokrasi di mana militer memiliki tempat dalam pemerintahan, namun tetap di bawah kontrol sipil.
Hal ini merupakan cerminan dari sejarah panjang Indonesia yang pernah dipimpin oleh rezim militer Orde Baru dan kini berusaha menyeimbangkan peran militer dalam pemerintahan tanpa mengurangi nilai-nilai demokrasi.
Secara keseluruhan, kolaborasi antara militer dan sipil dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia memiliki dua sisi.
Di satu sisi, kolaborasi ini membantu menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Namun, di sisi lain, terdapat tantangan dalam memastikan bahwa kontrol sipil tetap dominan agar demokrasi dapat berkembang secara penuh tanpa pengaruh militer yang berlebihan.
Indonesia merupakan contoh menarik di mana kolaborasi tersebut berlangsung secara relatif stabil meskipun ada kritik bahwa militer masih memiliki pengaruh signifikan dalam politik. (*)