AyoBacaNews.com - Dokter Detektif atau lebih dikenal dengan Doktif, gencar membongkar trik para pemilik skincare yang melakukan overclaim.
Akhir-akhir ini dunia skincare sedang memanas, pemilik skincare saling serang dan berikan sejumlah bukti data yang dimiliki.
Industri skincare terus berkembang pesat, namun di balik kesuksesannya, terdapat banyak klaim berlebihan atau overclaim.
Bagaimana mungkin industri ini meraup keuntungan hingga 13.000 triliun rupiah? Ternyata, praktik overclaim dalam industri skincare sudah menjadi strategi yang sering digunakan oleh banyak brand untuk menarik perhatian konsumen.
Dilansir dari channel YouTube Tom MC Ifle pada Jumat, 25 Oktober 2024, ungkap data menurut laporan, pasar skincare diproyeksikan mencapai 2,76 miliar dolar dengan pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 4,09%.
Meningkatnya kesadaran akan pentingnya perawatan kulit membuat banyak pemain baru dan lama berlomba-lomba untuk mendapatkan pangsa pasar.
Tidak hanya para wanita dewasa, 45% perempuan di Indonesia mulai menggunakan produk skincare sebelum usia 19 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa pasar skincare di Indonesia semakin besar. Namun, jika dibandingkan dengan Korea Selatan, industri skincare di Indonesia masih tertinggal jauh.
Di Korea Selatan, industri skincare diperkirakan menghasilkan 8,4 miliar dolar pada akhir tahun ini.
Namun, Amerika Serikat tetap menjadi pemimpin pasar global dengan pendapatan mencapai 24,3 miliar dolar. Perbedaan ini menunjukkan betapa besar potensi pasar skincare secara global.
Di tengah pertumbuhan yang pesat, satu diantara masalah terbesar adalah overclaim. Di Amerika, istilah ini sudah dikenal sejak 1824 dan merujuk pada klaim berlebihan yang sering kali tidak didukung oleh fakta ilmiah.
Di industri skincare, overclaim sering ditemukan dalam bentuk false advertising atau false claiming, yang bertujuan untuk membangun kredibilitas palsu di mata konsumen.
Survei pada 2022 menunjukkan bahwa 55% konsumen online tidak merasakan manfaat yang dijanjikan oleh brand skincare, sementara 25% mengalami iritasi kulit.
Penelitian yang dilakukan di Amerika bahkan menemukan bahwa dari 757 klaim yang dianalisis, hanya 136 yang valid, menunjukkan bahwa mayoritas brand kecantikan memanipulasi informasi produk mereka.
Di Indonesia, kasus overclaim juga sering terjadi. Bahkan beberapa brand lokal dituding menggunakan bahan yang tidak sesuai dengan klaim mereka.
Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah industri skincare benar-benar transparan?
Masalah lain yang muncul adalah dampak lingkungan dari industri ini. Seperti industri fast fashion, skincare juga mulai mengikuti tren cepat dalam merilis produk baru.
Namun, hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah limbah plastik. Pada 2018, industri kecantikan di Amerika Serikat menghasilkan 7,9 miliar kemasan plastik keras, dan hanya 9% yang berhasil didaur ulang.
Untuk jangka panjang, industri skincare perlu mempertimbangkan strategi sustainability. Konsumen kini semakin kritis terhadap brand yang tidak peduli pada lingkungan, dan ini bisa menjadi peluang bagi brand yang berfokus pada keberlanjutan.
Dalam menghadapi tantangan ini, brand skincare harus berhati-hati dengan praktik overclaim.
Jika dibiarkan, hal ini bisa merusak kepercayaan konsumen dan reputasi brand. Mengikuti langkah industri fast beauty mungkin menguntungkan dalam jangka pendek, namun risiko yang ditimbulkan jauh lebih besar. (*)