Bahlil Lahadalia yang Ciut oleh Raja Jawa

Selasa, 10 September 2024 | 14:28
Bahlil Lahadalia yang Ciut oleh Raja Jawa
Kolase foto Ketum Golkar, Bahlil Lahadahlia dan Jokowi.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

DALAM suasana politik yang sedang memanas akibat berbagai unjuk rasa di berbagai daerah, media sosial menjadi panggung utama untuk berbagai perdebatan dan kontroversi. 

Satu di antaranya peristiwa yang mengundang perhatian adalah pidato kontroversial Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, yang mengindikasikan Jokowi sebagai "Raja Jawa yang Bengis".

Menurut saya, pernyataan ini tidak hanya kontroversial tetapi juga tidak pantas untuk diucapkan oleh seorang pemimpin seperti Bahlil Lahadalia. 

Mengapa demikian? Pertama-tama, menyebut Jokowi sebagai "Raja Jawa yang Bengis" adalah sebuah ucapan yang seharusnya tidak pernah terucap.

Ini bukan hanya sebuah "kecelakaan sejarah", tetapi sebuah tindakan yang seharusnya disadari sebagai penghinaan terhadap tradisi dan budaya Jawa.

Sejarah mengajarkan kita bahwa ada hal-hal yang terjadi sebagai "kecelakaan sejarah", tetapi kecelakaan tersebut bisa menjadi momentum untuk menciptakan sejarah baru. 

Namun, dalam konteks ini, apa yang disampaikan oleh Bahlil tidak dapat dianggap sebagai kecelakaan yang dapat dimaafkan begitu saja.

Pernyataan seperti ini mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap budaya Jawa dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa menganggap gelar "raja Jawa" sebagai lambang kemuliaan dan bijaksana, bukan sebagai simbol kebengisan atau tirani.

Lebih jauh lagi, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Bahlil tidak memahami prinsip-prinsip budaya Jawa yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap pemimpin, termasuk dalam konteks politik. 

Tradisi politik Jawa, seperti yang dijelaskan dalam riset-riset seperti karya Ben Anderson, mengandung prinsip-prinsip yang menghargai kebijaksanaan dan kearifan dalam berpemerintahan.

Saya setuju dengan pandangan bahwa Bahlil seharusnya lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya, terutama ketika mengaitkan gelar "raja Jawa" dengan konotasi negatif.

Sebagai pemimpin, dia seharusnya menghormati dan memahami keberagaman budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Akhirnya, walaupun kontroversi ini membuat suasana politik semakin memanas, kita seharusnya tidak melupakan pentingnya menghormati budaya dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia, termasuk dalam hal penyampaian pendapat publik. 

Semoga kejadian ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih bijaksana dalam berbicara tentang budaya dan tradisi yang beragam di negeri ini. (*)

Konten Rekomendasi (Ads)