AyoBacaNews.com - Keniscayaan kiamat diyakini oleh orang-orang beriman. Beberapa tanda-tandanya yang diperlihatkan dalam kitab baik Alquran maupun kitab agama lainnya sudah terlihat satu persatu.
Meski konsep kiamat dalam semua agama memiliki perbedaan, ternyata tanda-tanda kiamat dan detail penggambarannya di kemudian hari ada kemiripan.
Dikutip dari kanal Youtube Daftar Populer, berikut adalah tanda-tanda kiamat menurut pemahaman agama, dimulai dari agama Islam.
Dalam Islam, ada dua jenis kiamat. Ada yang disebut kiamat sugra atau kiamat kecil Artinya yakni kehancuran sebagian kecil dunia.
Meninggalnya seseorang juga bisa disebut sebagai kiamat kecil. Kiamat kecil ini bisa juga disebut tanda-tanda kecil sebelum dimulainya tanda-tanda besar menuju kiamat kubra atau kiamat besar, atau biasa disebut sebagai kiamat sesungguhnya.
Tanda-tanda kecil ini meliputi runtuhnya Baitul Maqdis, kemudian Sungai Efrat mengeluarkan bukit emas.
Lalu ada juga pembangunan gedung pencakar langit yang merajalela, termasuk memegah-megahkan masjid.
Ada tanda liannya yakni banyak pembaca Alquran tapi tidak mengamalkannya, agama digunakan untuk kepentingan pribadi.
Lalu Jazirah Arab kembali dipenuhi pohon-pohon dan sungai-sungai, maraknya perjudian, seks bebas dan pembunuhan massal, meningkatnya korupsi dan kelahiran anak di luar pernikahan, banyaknya kecurangan dan kezaliman yang dilakukan pemimpin, ketergantungan akan obat.
Tanda-tanda kiamat kecil ini sebagian telah terjadi dan menjadi peringatan kepada manusia untuk bertaubat, karena jika kiamat besar terjadi maka pintu taubat telah ditutup.
Kiamat besar ini dimulai ketika matahari terbit dari barat, lalu mengikut tanda-tanda selanjutnya yakni munculnya Dajjal, makhluk pembawa fitnah terbesar.
Isa Alaihisalam dan Imam Mahdi juga akan muncul dan akan membunuh Dajjal. Setelah itu, Ya'juj dan Ma'juj, bangsa penghancur yang telah lama diisolasi di balik gunung yang ada di dekat perkampungan Mongol, akan muncul.
Mereka akan mati oleh pertolongan Tuhan dengan mengirimkan ulat untuk menggerogoti leher mereka.
Setelah itu akan muncul monster melata dari perut bumi, gerhana matahari akan terjadi di timur, barat, dan Jazirah Arab, dan berhembusnya angin selembut sutra dari arah Yaman mengambil nyawa orang-orang saleh.
Setelah itu hilangnya Islam serta Alquran. Setelah itu manusia yang tersisa akan berada di masa jahiliah kembali.
Di masa ini, Ka'bah akan diruntuhkan oleh orang-orang botak bertubuh kecil dan berkaki bengkok hingga terjadilah bencana besar: gunung saling bertabrakan, angin menggulung, dan benda-benda di luar angkasa akan menghantam bumi.
Semua hancur seketika. Setelah itu, semua dibangkitkan dan dikumpulkan di padang mahsyar untuk menerima penghakiman terakhir.
Hal ini yang pernah dikabarkan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Beliau bersabda,
"Hari kiamat tidak akan terjadi sampai Sungai Efrat menyingkapkan gunung emas. Orang-orang saling membunuh untuk merebutkannya. Seratus orang akan dibunuh dan sembilan puluh sembilan orang di antaranya mati, sementara satu orang yang tersisa berkata, 'Semoga akulah yang selamat.'"
Sungai Efrat yang menjadi mata air di Turki dan bermuara di Teluk Persia ini juga disebutkan dalam riwayat lain.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sudah dekat suatu masa di mana Sungai Efrat akan menjadi surut airnya, lalu terlihat bendahara emas. Barang siapa yang hadir di situ, janganlah ia mengambil sesuatu pun dari harta itu."
Hadis lainnya juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta Imam Abu Daud. Rasulullah SAW bersabda, "Segera Sungai Efrat akan memperlihatkan kekayaan gunung emas. Siapapun yang berada pada waktu itu tidak akan dapat mengambil apapun darinya."
Yang paling menarik dari dua hadis terakhir tadi adalah ungkapan akan adanya harta karun besar berupa gunung emas yang nantinya akan tersingkap dari sungai yang mengalir di tiga negara ini.
Sepertinya hadis itu mulai menjadi kenyataan, terutama sejak Sungai Efrat ini mengering.
Isu mengenai harta karun mulai ramai dibicarakan dan satu persatu harta karun arkeologi Irak mulai terungkap.
Dalam catatan sejarah, Sungai Efrat termasuk perairan kuno yang sudah ada sejak zaman prasejarah.
Manusia telah menghuni lembah sungai ini jauh sebelum zaman Jemdet Nasr (3600 hingga 3100 SM) dan zaman Wangsa Perdana (3100 hingga 2350 SM).
Hal ini diketahui dari situs kuno yang ditemukan di Sungai Efrat yang diduga berasal dari peninggalan bangsa Sumeria, Akadia, seperti Kis, Sippar, Adab, dan Uruk.
Sungai Efrat merupakan sungai terbesar di Asia Barat Daya dengan panjang 2.781 km dan melintas di tiga negara besar, yakni Turki, Suriah, dan Irak.
Pada zaman dulu, lembahnya digunakan sebagai irigasi di bawah kekuasaan berbagai kerajaan yang menaklukkannya.
Sejak dulu, volume air di sungai ini mencapai miliaran kubik per harinya sehingga dianggap mustahil akan mengering.
Sebab sepanjang sejarah memang belum pernah tercatat sekalipun sungai ini mengering.
Namun berbeda yang terjadi saat ini. Volume air dari Turki menuju wilayah Suriah saat ini tercatat berada di bawah 200 m³/detik.
Volume ini kurang dari setengah jika dibandingkan dengan jumlah volume air pada tahun 1987. Surutnya air Sungai Efrat dan Tigris selama 3 tahun terakhir membuat banyak warga ketakutan mengingat ciri kiamat yang disebutkan dalam hadis.
Namun di sisi lain, kekeringan ini mengungkap banyak situs arkeologi yang terendam di perairan dua sungai ini.
Pada bulan Juni 2022, Departemen Purbakala di Dohuk, wilayah Kurdistan Irak, mengumumkan penemuan sebuah kota yang kemungkinan besar adalah kota kuno Saki, pusat utama kekaisaran Mitani yang berjaya di sekitar 1500 hingga 1350 SM.
Kekaisaran Mitani adalah salah satu dari sejumlah kerajaan dan negara yang didirikan oleh orang Indo-Iran di Mesopotamia dan Suriah.
Pada puncaknya, kekaisaran membentang dari pegunungan Zagros ke Laut Mediterania.
Dengan kata lain, dasar Sungai Efrat ini telah menyaksikan enam era sejarah, mulai dari era Sumeria, Akadia, Asyur, Yunani, Bizantium, dan era Islam.
Seperti yang kita ketahui, nama Mesopotamia sering muncul dalam peristiwa-peristiwa di kitab suci.
Mesopotamia dikenal sebagai wilayah yang sangat subur sehingga menjadi faktor pendukung bagi tumbuhnya peradaban bangsa-bangsa yang ada di sana.
Bahkan disebut-sebut sebagai "the cradle of civilization" atau asal muasal peradaban.
Mesopotamia sebagai peradaban di dekat sungai terkenal akan hasil pertaniannya seperti gandum, barley, apel, dan anggur, serta kemampuannya memanfaatkan sungai untuk menangkap ikan-ikan air tawar.
Tim peneliti dikumpulkan dalam hitungan hari untuk bergegas ke lokasi dengan bantuan dana dari Universitas Freiburg, Jerman, untuk memeriksa sebanyak mungkin kota tua yang berusia 3.400 tahun ini sebelum kembali tenggelam.
Tim arkeolog ini berhasil memetakan banyak bangunan besar dan mengungkap ratusan artefak di antaranya kompleks industri, benteng dengan tembok dan menara, bangunan penyimpanan bertingkat, kuburan dari pemukiman Yahudi yang dibangun di permukaan batu, serta lebih dari 100 tablet berhuruf paku yang berasal dari periode Asyur Tengah.
Sisa-sisa lukisan dinding dalam nuansa merah dan biru terang yang ditemukan dalam artefak yang ditemukan adalah indikasi lebih lanjut bahwa bangunan tersebut adalah sebuah bangunan megah.
Dari Mesopotamia, kita akan beranjak ke puncak tertinggi di bumi, yakni Himalaya.
Perkembangan Islam di Tibet, Pegunungan Himalaya dimulai sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab yang mengirimkan misi perdagangan ke Tibet.
Pada zaman ini dikenal sebagai "Jalur Sutra" yang menghubungkan perdagangan antara Cina, India, dan Timur Tengah melalui Tibet.
Pada abad ke-8, seorang ulama terkenal bernama Sa'ad bin Abi Waqqas memperkenalkan Islam di Tibet melalui misi diplomatik ke Cina pada masa pemerintahan Dinasti Tang.
Pada abad ke-13, ketika Dinasti Yuan (Mongol) menguasai Cina, para pedagang Muslim dan ulama mulai berdatangan ke Tibet.
Salah satu ulama terkenal pada masa itu adalah Jalaluddin al-Mas'udi yang menulis tentang keberadaan komunitas Muslim di Tibet.
Islam berinteraksi dengan budaya dan tradisi Tibet, tetapi jumlah penganutnya tetap minoritas dibandingkan dengan agama Buddha yang menjadi agama mayoritas di sana.
Sebagian besar Muslim di Tibet adalah keturunan pedagang dan ulama yang datang dari wilayah-wilayah lain seperti Asia Tengah, Persia, dan India.
Islam di Tibet saat ini masih ada, meskipun menghadapi tantangan dalam menjaga identitasnya di tengah dominasi budaya dan agama setempat.
Pada masa modern, ada beberapa komunitas Muslim di wilayah-wilayah seperti Lhasa dan Shigatse yang tetap menjalankan tradisi dan ajaran Islam.
Meskipun Islam di Tibet adalah minoritas, interaksi budaya dan agama ini telah menciptakan warisan yang unik dalam sejarah dan budaya Tibet.
Pergerakan Islam di Tibet juga menghadapi tantangan dari pemerintah komunis Cina yang mengendalikan wilayah tersebut.
Penindasan terhadap agama dan budaya non-Han telah mempengaruhi kehidupan komunitas Muslim di Tibet.
Meskipun demikian, komunitas Muslim di Tibet tetap mempertahankan identitas dan tradisi mereka dalam lingkungan yang sering kali tidak mendukung.
Seiring dengan perubahan politik dan sosial di Cina, nasib komunitas Muslim di Tibet akan terus beradaptasi dan berkembang.
Penting untuk diingat bahwa populasi Muslim di Tibet tetap kecil, dan mereka hidup dalam konteks budaya dan agama yang sangat berbeda dengan mayoritas penduduk.
Oleh karena itu, sejarah dan perkembangan Islam di Tibet adalah bagian dari kisah yang lebih besar tentang bagaimana agama-agama berinteraksi dan beradaptasi di berbagai belahan dunia.
Berlanjut ke peradaban Timur Jauh, Cina memiliki sejarah panjang dalam memprediksi kiamat.
Sebagai salah satu peradaban tertua, mereka memiliki tradisi astrologi dan ramalan yang kaya.
Dalam budaya Cina, konsep kiamat sering dihubungkan dengan perubahan dinasti dan peristiwa alam seperti gempa bumi, banjir, dan kekeringan.
Salah satu ramalan kiamat yang terkenal adalah ramalan dari Dinasti Tang pada abad ke-7 yang memprediksi akhir dunia pada tahun 2012.
Ramalan ini didasarkan pada siklus 60 tahun dalam kalender Cina dan dianggap sebagai peringatan bagi masyarakat untuk memperbaiki moralitas mereka.
Konsep Yuga dan siklus waktu berulang
Di India, konsep kiamat juga ada dalam berbagai tradisi agama. Dalam Hindu, terdapat konsep Yuga yang merupakan siklus waktu yang berulang-ulang.
Saat ini, kita berada di Kali Yuga, yang merupakan periode terakhir dan paling korup sebelum dimulainya siklus baru.
Menurut kitab suci Hindu, Kali Yuga akan berakhir dengan kehancuran besar-besaran yang diikuti oleh pembaruan dunia.
Demikian pula, agama Jain dan Buddha juga memiliki konsep kiamat yang melibatkan siklus waktu dan transformasi dunia.
Kristen dan prediksi kiamat Suku Maya
Di Barat, agama Kristen memiliki pandangan yang kuat tentang kiamat. Dalam Kitab Wahyu di Alkitab, digambarkan berbagai tanda kiamat seperti munculnya Antikristus, perang besar, dan kehancuran bumi.
Pada abad ke-20, berbagai sekte dan gerakan keagamaan di Amerika Serikat dan Eropa meramalkan tanggal pasti kiamat, meskipun sejauh ini semua ramalan tersebut belum terbukti benar.
Namun yang paling menarik adalah prediksi kiamat dalam budaya Suku Maya.
Kalender Suku Maya, yang dikenal dengan Kalender Panjang, berakhir pada tanggal 21 Desember 2012.
Hal ini menyebabkan banyak spekulasi bahwa tanggal tersebut akan menjadi akhir dunia.
Meskipun banyak orang menganggap serius prediksi ini, para ahli Maya menjelaskan bahwa tanggal tersebut sebenarnya menandai akhir dari satu siklus dan awal dari siklus baru, bukan akhir dunia.
Peristiwa ini mencerminkan cara pandang yang berbeda antara budaya barat dan budaya tradisional tentang konsep waktu dan perubahan.
Dari berbagai peradaban ini, kita dapat melihat bahwa konsep kiamat sering kali mencerminkan kekhawatiran masyarakat tentang masa depan dan perubahan besar.
Baik melalui agama, astrologi, atau ramalan lainnya, prediksi kiamat menjadi cara bagi manusia untuk menghadapi ketidakpastian dan mencari makna dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di dunia.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pandangan tentang kiamat juga terus berkembang, menciptakan berbagai interpretasi dan pemahaman baru tentang masa depan bumi dan umat manusia. (*)