Tangerang, Masalah pengungsi Rohingya terus berlanjut tanpa akhir. Mereka telah berpindah-pindah mencari tempat perlindungan, namun bahkan di tempat pengungsian pun mereka tidak diterima oleh warga lokal. Hal serupa terjadi pada ratusan pengungsi Rohingya yang tiba di wilayah Aceh pada hari Minggu lalu, di mana warga Aceh diketahui menolak kedatangan mereka.
Jadi, masalah konflik pengungsi Rohingya ini sudah menjadi perhatian lama di wilayah ASEAN. Meskipun mereka berasal dari Myanmar, negara asal mereka tidak mengakui mereka sebagai warganya. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk status Myanmar sebagai negara Buddha yang sangat homogen, sehingga Rohingya yang beragama Islam dan berbeda penampilan dianggap sebagai "pengungsi ilegal." Selain itu, mereka tidak diakui sebagai bagian dari "Etnis Myanmar" dalam daftar resmi etnis negara tersebut. Akibat konflik berkepanjangan di Myanmar, etnis Rohingya semakin terpinggirkan dan terusir dari wilayahnya sendiri di Rakhine State. Yang perlu dicatat adalah, karena tidak diakui sebagai penduduk, mereka kesulitan mendapatkan kebutuhan dasar dan perlindungan yang seharusnya disediakan oleh Pemerintah Myanmar.
Mereka tidak dapat mengakses pendidikan, berkuliah, atau bekerja, bahkan menghadapi pengucilan dan perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah. Puncaknya terjadi pada tahun 2017, ketika wilayah mereka diserang oleh militer Myanmar, menyebabkan serangkaian kekerasan seperti kekerasan seksual, pembunuhan, penyiksaan, dan pembakaran rumah. Akibatnya, mereka tidak punya pilihan lain selain meninggalkan tanah air mereka. Pada waktu itu, hampir 800 ribu etnis Rohingya menjadi pengungsi, meninggalkan Myanmar tanpa tujuan yang jelas.
Jumlah tersebut kemudian menambah jumlah warga Rohingya yang sebelumnya sudah mengungsi ke Bangladesh, Thailand, India, Nepal, hingga Indonesia. Menurut data PBB, terdapat total 1-1,5 juta pengungsi Rohingya yang tersebar di berbagai negara. Perlu diketahui bahwa, meskipun telah meninggalkan Myanmar, perjalanan pengungsian mereka tidak berlangsung tanpa hambatan.
Mereka mengalami penolakan di berbagai tempat. Seperti yang kita ketahui, saat ini banyak negara yang mulai membuka diri setelah pandemi Covid-19, namun tetap fokus memperketat kontrol perbatasan. Sementara itu, banyak pengungsi yang merasa bingung dan tidak betah di tempat pengungsian, sehingga akhirnya naik perahu untuk menuju negara lain seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Awalnya, Indonesia memberikan sambutan kepada para pengungsi Rohingya, tetapi belakangan beberapa negara mulai menolak menerima mereka. Para pengungsi yang sudah berada di Indonesia juga dianggap tidak memberikan kontribusi apa-apa, sehingga meskipun ada ratusan pengungsi yang tiba, mereka diarahkan untuk mencari tempat pengungsian lain.
Kasusnya mirip. Beberapa kali, pengungsi Rohingya tiba di daratan Indonesia melalui Aceh. Ratusan di antaranya diterima dengan baik dan ditempatkan di Balai Desa, mendapatkan layanan seperti makanan tiga kali sehari dan perawatan kesehatan. Pada hari Minggu yang lalu, tiga perahu pengungsi Rohingya kembali berlabuh di beberapa titik di Aceh, termasuk Bireuen, Pidie, dan Aceh Timur, dengan total 490 orang.
Namun, warga Aceh diketahui menolak kedatangan pengungsi ini. Kepala Desa Pulo Pineung, Bireuen, Mukhtaruddin, menyatakan bahwa pengungsi Rohingya ini menimbulkan masalah bagi mereka setelah tinggal di daratan. Lebih lanjut, Kapolres Lhokseumawe AKBP Henki Ismanto menyampaikan bahwa citra pengungsi Rohingya sudah buruk di mata masyarakat Aceh.
Mereka tidak menjaga kebersihan dan tidak menghormati syariat Islam yang berlaku di tempat tersebut, sehingga karena tidak diterima, kapal-kapal ini sudah bergerak ke arah timur. Penolakan warga terhadap pengungsi ini telah menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, para pengamat, dan organisasi internasional yang semuanya bersuara. Menurut sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Siti Ikramatoun, terdapat gesekan yang telah terjadi antara warga lokal dan para pengungsi, dengan banyak pengalaman yang tidak menyenangkan. Dalam konteks ini, menurut Siti, warga memiliki ketidakpercayaan terhadap para pengungsi.
Meskipun begitu, organisasi internasional saat ini sedang mendorong Indonesia untuk menerima kembali pengungsi tersebut, seperti yang dilakukan oleh Amnesty International Indonesia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengeluarkan pernyataan mengenai hal tersebut.
Dalam pernyataannya, Amnesty International Indonesia mendorong pemerintah pusat dan pemerintah Aceh untuk segera menyelamatkan pengungsi Rohingya tanpa syarat dan memberi izin kepada mereka untuk turun dengan selamat. Selain itu, pemerintah didorong untuk memberikan bantuan kemanusiaan serta menyediakan tempat perlindungan dan keselamatan. Usman Hamid menyatakan, "Mereka adalah saudara kita sesama manusia."
Menurut Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pemerintah Indonesia sebenarnya mengapresiasi kehadiran kelompok Rohingya. Namun, partisipasi masyarakat juga diharapkan. Muhadjir menyoroti perlunya pemerintah Provinsi Aceh dan pemerintah kabupaten setempat menemukan solusi. Pendekatan yang berbeda datang dari Kementerian Luar Negeri, di mana Jubir Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, menekankan perlunya menangani akar masalah di sini.
Artinya, konflik di Rohingya perlu diselesaikan; jika tidak, masalah pengungsian seperti ini akan terus berulang. Pengungsi berakhir di Indonesia, suatu negara yang tidak memiliki kewajiban resmi untuk menampung pengungsi. Ada Konvensi Pengungsi 1951 dari PBB yang mengatur cara mengelola pengungsi yang datang ke suatu negara, tetapi Indonesia belum meratifikasi peraturan tersebut. Jadi, penerimaan pengungsi oleh Indonesia selama ini didasarkan pada asas kemanusiaan, tanpa kewajiban formal.
Selama pembahasan tentang pengungsi Rohingya, sebenarnya ada alternatif lain jika penolakan terjadi. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, pemerintah Indonesia seharusnya dapat memberikan alternatif daerah lain ketika penolakan terjadi. Meskipun Dinas Sosial Aceh masih menunggu instruksi, secara hukum internasional, Indonesia tidak "wajib" melakukannya.