Pada awal perdagangan Selasa pagi, rupiah tergelincir 49 poin atau 0,31 persen menjadi Rp16.130 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.081 per dolar AS.
Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, menjelaskan bahwa pernyataan beberapa pejabat Federal Reserve AS yang mendukung kebijakan "higher-for-longer", termasuk Michelle Bowman dan Lorie Logan, telah meningkatkan sentimen risk-off di pasar keuangan domestik, yang pada gilirannya mendorong pelemahan nilai tukar rupiah.
Wakil Ketua Federal Reserve, Philip Jefferson, menyatakan bahwa bank sentral AS harus mempertahankan tingkat suku bunga saat ini lebih lama hingga ada bukti yang jelas bahwa inflasi AS bergerak menuju target 2 persen.
Meskipun rupiah melemah, Surat Berharga Negara (SBN) diperdagangkan bervariasi. Volume perdagangan obligasi pemerintah tercatat meningkat menjadi Rp13,41 triliun pada Senin 13 Mei 2024, dibandingkan dengan volume perdagangan pada Jumat yang hanya Rp10,44 triliun.
Kepemilikan asing pada obligasi rupiah juga mengalami peningkatan, naik sebesar Rp2,49 triliun menjadi Rp798 triliun atau 13,85 persen dari total obligasi yang beredar pada 8 Mei 2024.
Pada Selasa, pemerintah mengadakan lelang obligasi negara dengan target indikatif sebesar Rp22 triliun. Seri yang dilelang termasuk SPN3mo, SPN12mo, FR0101, FR0100, FR0098, FR0097, dan FR0102.
Imbal hasil seri benchmark 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun masing-masing tercatat sebesar 6,95 persen, 6,99 persen, 7,01 persen, dan 6,97 persen.
Untuk perdagangan hari ini, rupiah diperkirakan akan berada dalam kisaran Rp16.050 per dolar AS sampai dengan Rp16.150 per dolar AS karena investor cenderung menunggu rilis data inflasi AS besok.(*)