Sebut Sudah Aturan Lama Alasan Anak Buah Prabowo Pajaki Transaksi QRIS 12 Persen

Sabtu, 21 Desember 2024 | 07:51
PPN 12% untuk transaksi elektronik, termasuk QRIS, mulai berlaku. Foto Bank Indonesia.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

Transaksi QRIS ikut terdampak kenaikan PPN 12%. Bagaimana perhitungan pajaknya dan apa dampaknya bagi pengguna? Simak penjelasan Kemenkeu dan DJP terkait regulasi terbaru dan implikasinya terhadap biaya layanan.

AyoBacaNews.com, JAKARTA - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada transaksi digital, termasuk yang menggunakan QRIS, memicu gelombang protes di masyarakat. 

Warganet mempertanyakan penerapan pajak ini, terutama pada transaksi yang dianggap bukan barang mewah. 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan klarifikasi bahwa pengenaan PPN pada layanan uang elektronik bukanlah kebijakan baru, melainkan sudah berlaku sejak tahun 1983 dan diperbarui melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Protes Publik dan Reaksi di Media Sosial

Kenaikan PPN 12% pada transaksi QRIS menuai kritik pedas dari masyarakat, khususnya di media sosial. 

Banyak warganet yang menyuarakan ketidaksetujuannya melalui platform X (dulu Twitter). 

Beberapa di antaranya mempertanyakan logika penerapan pajak pada transaksi digital yang dianggap bukan barang mewah.

"Rakyat disuruh beralih ke transaksi cashless, tapi transaksi digital dikenain naik pajak 12% juga. Jadi cuma buat barang mewahnya part mana? Kita balik ke sistem barter aja kali? #Tolak PPN 12 Persen,” kata akun X @adn***.

"Gila, jd dobel2 dong..udh ada biaya layanan, tambah lg pajaknya? Udh gila ni pemerintah, emg mau dimatiin pelan2 keknya rakyat," kata akun X @Ran***

"PPN cmn utk barang mewah itu hanya permainan kata saja, urk meredam gejolak publik. Sama kayak kenaikan bpjs dulu," tulis akun @sab***

"Barangnya aja kena ppn . Transaksi ppn lg. kalian gaji turunin dlu dah baru kita bayar PPN, gemana," ujar akun @adi***

Klarifikasi dari DJP Kemenkeu

Menanggapi protes yang muncul, DJP Kemenkeu memberikan penjelasan terkait penerapan PPN pada transaksi uang elektronik. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menegaskan bahwa PPN bukanlah objek baru yang diberlakukan di Indonesia. 

Aturan ini telah ada sejak UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984.

“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” ujar Dwi Astuti.

UU HPP menyebutkan bahwa layanan uang elektronik termasuk dalam objek yang dikenakan PPN. 

Hal ini berarti kenaikan PPN menjadi 12% juga berdampak pada transaksi uang elektronik.

Perhitungan PPN pada Transaksi QRIS

DJP Kemenkeu juga menjelaskan bagaimana perhitungan PPN 12% diterapkan pada transaksi QRIS. 

PPN dihitung dari biaya layanan atau biaya administrasi, bukan dari nilai transaksi itu sendiri. Berikut contoh perhitungannya:

Transaksi: Rp100.000
Biaya layanan/biaya administrasi: Rp1.000
PPN: 12 persen dari Rp1.000 = Rp120
Total biaya transaksi: Rp101.120

Klarifikasi dari DJP Kemenkeu ini diharapkan dapat meluruskan informasi yang beredar di masyarakat terkait penerapan PPN pada transaksi digital. 

Meskipun demikian, protes dan diskusi di media sosial masih terus berlanjut. 

Kenaikan PPN pada biaya layanan transaksi digital ini menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah mendorong transaksi non-tunai.

Dengan adanya penjelasan ini, diharapkan masyarakat dapat memahami dasar hukum dan perhitungan PPN yang diterapkan pada transaksi elektronik, termasuk QRIS. 

Meskipun aturan ini bukan hal baru, sosialisasi yang lebih intensif mungkin diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman di kemudian hari. (*)

 

Artikel Rekomendasi