Skandal Hubungan Terlarang Guru dan Siswa di Gorontalo dalam Kacamata Teori Komunikasi Islam
KASUS viral mengenai hubungan terlarang antara seorang guru dan siswinya di Gorontalo telah mengguncang dunia pendidikan dan masyarakat Tanah Air.
Kasus ini bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi juga menyentuh aspek yang lebih mendalam dalam komunikasi, khususnya komunikasi interpersonal dan etika komunikasi dalam pendidikan.
Untuk menelaahnya lebih dalam, kita dapat menggunakan teori komunikasi, baik dari perspektif umum maupun komunikasi Islam.
Komunikasi Interpersonal dalam Perspektif Islam
Dalam pandangan umum, komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran pesan, baik secara verbal maupun non-verbal, yang melibatkan dua individu atau lebih.
Di dunia pendidikan, komunikasi interpersonal antara guru dan siswa berfungsi untuk mendukung proses belajar mengajar, membangun hubungan saling menghormati, dan menjaga profesionalisme.
Namun, dalam kasus ini, guru telah menyalahgunakan hubungan yang seharusnya profesional menjadi personal dan melanggar norma etika.
Dari perspektif komunikasi Islam, hubungan guru-siswa memiliki landasan yang lebih sakral.
Alquran dan Hadis menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan adab dalam hubungan interpersonal.
Guru, yang memiliki posisi sebagai pendidik, memikul amanah yang berat. Dalam Islam, hubungan interpersonal tidak hanya diukur berdasarkan hasil komunikasi, tetapi juga niat, akhlak, dan konsekuensi jangka panjang dari interaksi tersebut.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain." Dalam konteks ini, hubungan yang terbentuk haruslah membawa manfaat, bukan malah menimbulkan kerusakan baik secara psikologis maupun moral.
Pelanggaran Etika Komunikasi dan Tanggung Jawab Guru
Etika komunikasi sangat ditekankan dalam Islam. Guru tidak hanya bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmu, tetapi juga menjaga adab dan akhlak dalam interaksi dengan murid.
Dalam komunikasi edukatif, hubungan antara guru dan siswa harus berlandaskan kepercayaan dan tujuan pendidikan. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa guru harus menjaga integritas moral dan tidak boleh menyalahgunakan posisi mereka.
Penyimpangan dari norma ini, seperti yang terjadi dalam kasus Gorontalo, adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai Islam dan profesionalisme pendidikan.
Hubungan terlarang antara guru dan siswa ini menunjukkan bahwa ada pelanggaran etika yang serius.
Komunikasi yang sehat seharusnya mampu meneguhkan hubungan profesional, bukan malah mengarah ke eksploitasi kekuasaan atau hubungan yang merusak.
Dalam pandangan komunikasi Islam, guru adalah teladan yang seharusnya memberikan inspirasi moral dan spiritual, bukan malah menimbulkan dampak buruk secara psikologis dan sosial.
Dampak Psikologis dan Sosial dalam Perspektif Islam
Selain merusak hubungan interpersonal dan etika, kasus seperti ini berdampak pada psikologis siswa, keluarga, dan masyarakat luas.
Dari perspektif psikologi komunikasi, interaksi yang tidak sehat seperti ini dapat menyebabkan trauma yang berkepanjangan, baik secara emosional maupun psikologis.
Lebih lanjut, dalam Islam, menjaga martabat dan kehormatan diri sangat ditekankan. Kasus seperti ini dapat merusak kehormatan seorang murid dan keluarganya di mata masyarakat, yang pada gilirannya memperparah trauma.
Selain itu, dampak sosial dari kasus ini juga tidak bisa diabaikan. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap institusi pendidikan dan profesionalisme guru, yang sejatinya diharapkan menjadi teladan dan pilar moral.
Kehilangan kepercayaan ini mengancam tatanan sosial, yang dalam Islam sangat mementingkan keadilan, kehormatan, dan keteladanan.
Pentingnya Kembali pada Prinsip Komunikasi Islam
Kasus ini memberikan pelajaran penting bahwa komunikasi interpersonal antara guru dan siswa harus tetap dalam koridor etika yang jelas, baik dari perspektif profesional maupun ajaran agama.
Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan, adab, dan akhlak dalam setiap bentuk komunikasi.
Sebagai guru, seseorang harus memahami tanggung jawab moral yang lebih besar daripada sekadar menyampaikan ilmu. Mereka harus menjadi penjaga nilai-nilai moral dan etika yang tinggi.
Dengan demikian, solusi dari permasalahan ini bukan hanya terletak pada sanksi hukum, tetapi juga pada introspeksi mendalam terhadap sistem pendidikan dan nilai-nilai komunikasi interpersonal yang diterapkan.
Komunikasi yang dibangun atas dasar niat baik, moral, dan akhlak yang mulia akan membawa dampak positif jangka panjang, baik bagi individu maupun masyarakat. (*)