Prabowo Subianto merangkul partai politik yang kalah untuk memastikan dukungan parlemen dan menghindari resistensi. Strategi 'Zero Enemy' ini bertujuan menjaga stabilitas politik, mendukung visi-misi, serta mencegah program besar seperti IKN dan makan gizi gratis gagal.
AyoBacaNews.com, JAKARTA - Pengamat Politik, Adi Prayitno melihat upaya Prabowo merangkul partai yang akalah adalah bentuk pengkodisian agar tidak ada yang menganggu.
Tentang strategi politik yang diterapkan oleh Prabowo Subianto, menurut Adi, alasan utama presiden yang terpilih secara langsung, termasuk Prabowo, merangkul partai-partai politik yang kalah dalam Pilpres adalah untuk memastikan dukungan parlemen yang kuat.
"Tujuannya adalah untuk menghindari resistensi politik, memastikan visi, misi, dan janji politiknya berjalan lancar," ujarnya di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) dikutip pada Mingu, 20 Oktober 2024.
Adi menambahkan, jika hanya mengandalkan koalisi yang ada, suara di parlemen belum mencapai 50 persen.
"Dalam hitungan saya, Prabowo saat ini berada di sekitar 48 persen. Kebijakan penting seperti pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) atau program makan gizi gratis berpotensi terhambat jika tidak mendapat dukungan parlemen," kata dia.
Strategi merangkul semua partai, termasuk NasDem, PKB, PKS, bahkan PDIP, disebut sebagai pendekatan 'Zero Enemy'.
"Prabowo memahami pentingnya menjaga stabilitas politik untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan program-program besar pemerintah," jelas Adi.
Stabilitas politik inilah yang menurut Adi sangat penting, terutama bagi Prabowo yang berlatar belakang militer.
Adi juga menyoroti perbedaan antara situasi politik Prabowo dengan Jokowi pada awal kepemimpinannya di tahun 2014.
Jokowi saat itu kata dia, dihadapkan pada 'Triple Minority'—bukan dari partai mayoritas, dianggap pendatang baru di politik nasional, dan dukungan parlemen yang lemah.
"Prabowo, sebaliknya, memiliki dukungan partai yang lebih solid dan hubungan politik yang luas, baik di nasional maupun internasional," katanya.
Lebih lanjut, Adi mengungkapkan, tidak ada partai politik yang tertarik untuk beroposisi terhadap Prabowo.
Bahkan, partai-partai yang sebelumnya mendukung Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan kini cenderung lebih dekat dengan Prabowo.
Mereka mungkin memiliki masalah dengan pemerintahan sebelumnya, tapi dengan Prabowo, semuanya tampak lebih mudah.
"Ini berbeda dengan situasi Jokowi di 2014, di mana partai-partai yang kalah lebih agresif memilih berada di luar kekuasaan," tambahnya.
Adi Prayitno menyimpulkan bahwa koalisi besar yang kini terbentuk, di mana partai-partai politik berlomba-lomba mendukung Prabowo, adalah bukti bahwa mereka melihat Prabowo sebagai figur yang pantas didukung dalam mengamankan stabilitas politik dan mewujudkan visi besar Indonesia ke depan. (*)