GenZi Adalah Kutukan?

Rabu, 01 Mei 2024 | 10:01
generasi milenial, atau yang sering disebut GenZi, mendapat tuduhan-tuduhan seperti menjadi generasi yang manja, mudah stres. -Satu Persen - Indonesian Life School.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

BICARA tentang Gen-Z milenial bisa jadi topik yang tidak ada habisnya, terutama di era media sosial di mana pembahasan tentang generasi seringkali dilakukan dengan membanding-bandingkan antargenerasi atau sekadar bercanda tentang ciri khas satu generasi. 

Dan seringkali, generasi milenial, atau yang sering disebut GenZi, mendapat tuduhan-tuduhan seperti menjadi generasi yang manja, mudah stres, bahkan disebut menggunakan koyo seperti orang tua. Nah, kali ini fokus pada salah satu penyebabnya, mengapa GenZi menjadi seperti ini.

Menurut beberapa bacaan yang menarik, tampaknya GenZi menjadi seperti ini karena pengalaman masa kecil yang kurang bahagia atau yang dalam istilah bahasa ilmiahnya disebut sebagai "quiet place food experience". 

Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa 60 persen partisipan mengalami masa kecil yang kurang bahagia. 

Contohnya adalah ketika anak diperlakukan secara kasar atau dihina secara emosional oleh orang tua, yang pada akhirnya dapat menyebabkan masa kecil yang kurang bahagia.

Ada dua jenis utama dari masa kecil yang kurang bahagia ini. Pertama, ketika orang tua bercerai atau berpisah, dan yang kedua adalah ketika orang tua mengalami trauma pada masa kecil mereka sendiri. 

Penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa depresi bisa menjadi salah satu akibat dari masa kecil yang kurang bahagia.

Hal ini dapat menjadi sebuah lingkaran setan, di mana trauma yang dialami oleh generasi sebelumnya dapat ditransmisikan ke generasi berikutnya. 

Ini disebut sebagai "intergenerational transmission of trauma", di mana trauma nenek bisa mempengaruhi perilaku ibu, yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku anak.

Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga memainkan peran penting. Pola pengasuhan yang keras atau tidak memadai juga dapat menjadi faktor penyebab. 

Namun, penting untuk diingat bahwa orang tua juga hidup dengan berbagai pengalaman traumatis, seperti perang dunia atau krisis ekonomi, yang juga dapat memengaruhi cara mereka membesarkan anak.

Meskipun demikian, di era digital seperti sekarang ini, kita memiliki akses lebih besar terhadap informasi dan pendidikan yang dapat membantu mengubah pola pikir dan perilaku. 

Kita dapat belajar dari kesalahan generasi sebelumnya dan berusaha menjadi lebih baik. Hal ini bisa melalui mengakses berbagai sumber informasi, seperti video, artikel, atau bahkan bergabung dalam komunitas yang mendukung pertumbuhan pribadi.

Jadi, kesimpulannya, menjadi Genzi bukanlah kutukan. Dengan kesadaran akan pengalaman masa kecil dan akses terhadap pendidikan yang lebih baik, kita dapat menjadi generasi yang lebih baik dan mampu memutus rantai trauma yang mungkin terjadi. Yang penting adalah kita harus kritis terhadap diri sendiri, siap untuk belajar, dan berkomitmen untuk menjadi lebih baik. (*)

Sumber: Satu Persen - Indonesian Life School

Artikel Rekomendasi