Dari Jabar Semua 'Terungkap', KPU Tekan Tombol Panik, Bawaslu Makin Ompong?

Senin, 18 Maret 2024 | 12:27
DALAM SOROTAN - Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja dan Ketua KPU Hasim Ashari sedang melakukan pembahasan pemilu. - bawaslu.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

AyoBacaNews.com - Kondisi negara pasca pemilu 2024 makin tidak baik-baik saja. Sejumlah dugaan pelanggaran untuk memenangan pasangan capres-cawapres maupun caleg tertentu, makin terendus menyengat baunya.

Jika semua "terbongkar", maka KPU sudah pasti tekan tombol panik, dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas makin jelas ompongnya lantaran tak bergigi.

Misal, temuan paling menjeutkan di wilayah Jawa Barat yang memang "kuenya" sangat enak dan banyak diperebutkan. Temuan DEEP Indonesia misalkan. Sebagai lembaga pemantau pemilu terakreditasi di Bawaslu RI, merekam banyak kejanggalan pemilihan di Jawa Barat.

Provinsi yang pernah dipimpin Ridwan Kamil ini, banyak ditemukan masalah mulai dari arus bawah sampai pada Sirekap.

Hingga saat ini pemantauan di lapangan belum selesai rekapitulasi perolehan suara dan penetapan hasil pemilu serentak 2024. 

Temuan DEEP Indonesia, disebutkan banyak probematika di salah satu provinsi yang terbesar jumlah pemilihnya. 

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai, keterlambatan rekapitulasi disebabkan karena permasalahan yang kompleks di lapangan.

Misal terkait dengan permasalahan teknis rekapitulasi dan penghitungan suara, kualitas data pemilih, profesionalitas penyelenggara pemilu, problem sirekap serta kejadian khusus saat rekapitulasi. 

“Problem tersebut dipicu karena banyaknya TPS yang dilakukan pemungutan suara ulang (PSU), tidak sinkronnya data c hasil, c salinan dan Sirekap yang terjadi di seluruh daerah," kata Neni.

"Dugaan penggelembungan suara dari PPP ke PSI seperti yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, pergeseran suara caleg di Kabupaten Majalengka." 

"Diberhentikannya 5 anggota PPK Karawang karena terbukti melakukan penggeseran suara baik dari partai ke partai, partai ke caleg." 

"Caleg ke caleg dan pemindahan surat suara tidak sah ke suara caleg, jumlah TPS yang gemuk seperti di Tambun Selatan sejumlah 1222 TPS serta dinamika rekapitulasi di tingkat PPK karena ketidakpuasan saksi,” jelas Neni.

Neni juga melihat jika kondisi ini diperparah lembaga Bawaslu yang tidak memiliki data kuat secara berjenjang.

Ini jelas kata dia, proses pengawasan dan penanganan pelanggaran yang kurang maksimal di lapangan dan potensi pelanggaran tidak dapat terhindarkan. 

Melalui surat KPU RI Nomor 454/PL.01.8-SD/05/2024 tentang Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2024 menyatakan bahwa jadwal rekapitulasi dan penetapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat provinsi dilaksanakan pada tanggal 19 Februari 2024 sampai 10 Maret 2024. 

Tetapi dalam point tiga dinyatakan, dengan memperhatikan situasi dan kondisi pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara di berbagai tingkatan. 

Dalam hal ini tidak dapat terlaksana karena rentang waktu ditentukan terjadi force majeur maka dilakukan penyesuaian. 

“Pernyataan Ketua KPU RI yang menyalahkan KPU Provinsi Jawa Barat karena terlambat proses rekapitulasi di tingkat provinsi menjadi inkonsisten dan penuh anomali dengan surat keputusan KPU yang telah diterbitkan dan dijadikan acuan oleh KPU sesuai dengan tingkatannya," katanya. 

"Semestinya KPU RI juga melakukan monitoring agar diketahui bagaimana kondisi di lapangan yang terjadi," jelasnya. 

"Ketika melempar permasalahan ke penyelenggara pemilu tingkat bawah justru malah terlihat KPU RI lepas tanggungjawab,” ujar Neni.

Sebelumnya DEEP Indonesia telah mendorong KPU untuk bisa melaksanakan rekapitulasi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. 

Karena keterlambatan rekapitulasi di tingkat provinsi akan berimplikasi pada terlambatnya rekapitulasi di tingkat nasional. 

Neni juga menemukan permasalahan pada sirekap yang membuat rekapitulasi berjenjang berlangsung lama. 

Saat melakukan pemantauan di KPU Provinsi Jawa Barat, DEEP menemukan berkali-kali Sirekap mengalami server down sehingga harus menunggu beberapa saat.

“Sirekap ini yang tadinya hanya sebagai alat bantu malah menjadi alat kerja utama. Tidak menyelesaikan permasalahan tetapi justru yang terjadi adalah membuat permasalahan baru dan menjadi ruang gelap dalam pemilu." 

"Di tingkat pusat kebijakan sirekap yang buka tutup justru semakin jauh dari asas transparansi dan akuntabilitas,” terang Neni. 

Ke depan, beberapa problematika rumit yang terjadi terutama berkaitan dengan teknis dan tata kelola manajemen pemilu harus dilakukan evaluasi secara komperhensif agar ada perbaikan dan kejadian serupa tidak kembali terulang.(*)

Artikel Rekomendasi