Aroma Pilkada Menyengat Bau Kolonial

Jumat, 20 September 2024 | 11:24
Aroma Pilkada Menyengat Bau Kolonial
Ilustrasi seseorang memandang bendera merah putih - Foto: Freepik
Penulis: Farhan Bonde | Editor: AyoBacaNews

AyoBacaNews.com, Bandung - KETERGANTUNGAN Pangreh Praja sebagai struktur pemerintahan di bawah Gubernur Djendral kolonial Belanda, terhadap Cina sebagai pemilik modal memang sengaja diciptakan. 

Seorang pribumi yang hendak menjadi lurah atau bupati di bawah pengaruh Gubernur Djendral atas sistem pemerintahan kolonial Belanda yang disyaratkan harus memiliki sejumlah uang. 

Adapun pendanaan dari pemilik modal terhadap pribumi ini terbilang ilegal, sebab tidak berdasarkan perintah langsung dari Gubernur Djendral. 

Hal ini dikenal sebagai “pendanaan ilegal kepala daerah” atau “pilkada” zaman Kolonial Belanda.

Demikian juga penuturan Prof. Dr. D.H. Burger dan Prof. Dr. Mr. Prajurit di dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, bahwa bahkan sekedar calon Lurah pun, harus memiliki sejumlah uang (GBP/Poundsterling) £.700, - sampai £.1000, -. 

Seorang calon pejabat harus memiliki £.200,- yang dipersembahkan kepada bupati, £.100,- untuk Wedana, £.25,- dipersembahkan untuk jurutulis Controleur, dan sisanya untuk mensejahterakan eselon lain yang terkait dengan struktur kepangreh prajaan.

Bahkan untuk menjadi seorang lurah pun harus memiliki sejumlah uang tersebut, dimana per hari ini, 1 Pound, jika dirupiahkan berjumlah kurang lebih Rp 20.000. 

Belum lagi, jika seorang pribumi hendak mencalonkan diri sebagai camat, asisten wedana, wedana, patih, serta bupati. 

Pendanaan tersebut tidak diberikan secara serta-merta, melainkan harus dikembalikan. 

Proses pengembalian tersebut adalah dengan mempekerjakan rakyat untuk kepentingan pemilik modal. 

Pemilik modal ini bertindak sebagai raja kecil di satu desa atau kabupaten yang didrop dananya. 

Kehendak mencari suaka di bawah sistem kolonial Belanda ini adalah upaya menyelamatkan diri dari sistem pajak in natura atau tanam paksa yang berlangsung sejak 1830-1919 M. 

Akibat pemberontakan, perlawanan, adu domba, serta perang yang terjadi di luar wilayah Nusantara, mulai dari Perang Napoleon, Perang Belgia di Eropa, kemudian terjadi Perang Padri di Sumatera yang melibatkan Amerika dalam mendukung gerakan Wahabi kontra dengan masyarakat adat yang didukung kolonial Belanda sendiri, atas kekhawatirannya terhadap dominansi Amerika yang perlahan memasuki wilayah Nusantara.

Kemudian terjadi pula perang perlawanan di Banten, serta Perang Diponegoro, yang atas kesemuaan peristiwa ini menjadikan kolonial Belanda mengalami kejatuhan ekonomi. 

Sehingganya, Belanda memberlakukan sistem tanam paksa terhadap masyarakat pribumi, dan hasilnya diserahkan kepada kolonial Belanda sebagai komoditas yang diperdagangkan di wilayah-wilayah laut niaga. 

Hal tersebut yang mendasari masyarakat pribumi hendak melepaskan diri dari sistem kolonial Belanda, termasuk mencari suaka di bawah sistem kolonial kerajaan Protestan Belanda.

Praktik-praktik tersebut secara umum, tidak jauh berbeda dengan pratek-praktek yang berlangsung di Indonesia hari ini. 

Baik itu proses pemilihan legislatif maupun eksekutif, kemudian masuk dengan mudahnya investasi-investasi baik dari dari dalam maupun dari luar negeri, serta proses mencari suaka dari kalangan istana, elit, maupun para investor. 

Bahwa keberadaan pemilik modal tengah nyata adanya, pemilik tanah sebagai tuan takur misalnya, bertindak sebagai sosok yang mendanai kontestasi politik, termasuk pilkada. 

Pun, proses pendanaan tersebut tidak secara serta-merta, hampir mirip dengan kejadian pada masa kolonial di atas. 

Misalnya, dengan meloloskan proyek-proyek tertentu, investasi-investsi tertentu, serta upaya-upaya mempertahankan status quo atas keberlanjutan pemerintahan pihak-pihak tertentu.

Praktik-praktik perpolitikan dalam negeri, atau bahkan daerah-daerah tertentu, dengan melibatkan pemilik-pemilik modal, tuan takur, serta investor-investor asing sudah menjadi kebiasaan masyarakat pribumi yang biasa menghianati komitmen kecintaan terhadap tanah air dengan menafkahi diri atas ikhtiar-ikhtiar pemerolehan suaka dari kalangan pemilik modal, serta otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. 

Maka berdasarkan tinjauan fungsioanal manusia sebagai khalifatul fil ardh, tidak diciptakan untuk membenarkan praktek-praktek atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah-sudah, melainkan harus membiasakan praktek-praktek serta perilaku-perilaku yang benar. 

Jelasnya, kita tidak mesti membiasakan serta membenarkan ketergantungan terhadap sesuatu di situasi apapun itu, sebagaimana ketergantungan yang diciptakan oleh kolonial Belanda untuk memudarkan kemandirian berdikari (berdiri di kaki sendiri) dengan melakukan kebiasaan memperoleh sesuatu dengan konsekuensi tertentu, yang sekaligus hendak menurunkan intensitas perlawan pribumi, ulama dan santri, serta keterlibatan berbagai elemen, agar tetap bodoh, tetap kaku, dan tidak memiliki keberanian untuk melawan serta berdiri sendiri. (*)

 

Konten Rekomendasi (Ads)