AyoBacaNews.com - Pembagian uang Tunjangan Hari Raya atau THR kepada sanak saudara di momen Lebaran, sudah menjadi tradisi yang berkembang di Indonesia.
Di beberapa kesempatan yang sama, tradisi ini juga disebut sebagai berbagi fitrah hingga angpao Lebaran.
Bisnis tukar uang pun muncul dari tradisi ini, sebab orang-orang akan mencari uang pecahan dengan nominal kecil atau receh agar lebih mudah dibagikan THR di hari Lebaran.
Menurut pendakwa asal Cirebon, Buya Yahya justru bisnis seperti ini makan akan mendatangkan dosa.
Baik kepada penyedia jasa maupun pembeli yang menukarkan uang tersebut. Pasalnya, transaksi ini bersifat riba, meski tidak termasuk dalam akad pinjam-meminjam uang.
Dijelaskan Buya Yahya, riba itu ada empat macam. Di antaranya ada fiba fadhl, yakni orang tukar uang, orang jual beli uang.
"Kalau jual beli uang yang berbeda, dollar dengan rupiah tentu beda. Jadi kalau berbeda, maka boleh. Akan tetapi, kalau sama-sama rupiah, sama dollar, tidak boleh," kata Buya Yahya, seperti dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Jumat 29 Maret 2024.
Meski dinamakan menukar uang, Buya Yahya tetap mengingatkan, bahwa praktiknya adalah jual beli uang.
Dengan begitu, uang Rp100 ribu seharusnya ditukarkan dengan Rp100 ribu utuh, meski dalam pecahan yang berbeda.
"Sehingga Rp100 ribu saya tiker dapat Rp95 ribu, (dari) Rp96 ribu (jadi) Rp90 ribu, itu hukumnya adalah riba, namanya riba fadhl, ada kelebihan pada satu di antaranya, hukumnya adalah haram," kata Buya Yahya.
Buya Yahya mengatakan, bahkan sekalipun pembelinya sudah rela dengan penukaran uang tidak sebanding tersebut, transaksinya tetap bersifat riba, dan menimbulkan dosa.
Namun, ada cara yang bisa diterapkan supaya tukar-menukar uang untuk THR Lebaran itu tidak menimbulkan dosa.
"Pakai akad, Rp100 ribu dapat tukar Rp100 ribu (dalam pecahan), hanya nanti jasa nukernya nanti harus ada dong. Harus ada akadnya yang berbeda di sini, 'ini lho jasamu (upah)'. Ada (akad) berbeda, sebenarnya yang menjadikan halal adalah karena akad yang benar," katanya. (*)