KEJADIAN menggoncangkan moralitas masyarakat baru-baru ini. Kasus pelecehan dilakukan seorang ayah terhadap anak perempuannya sendiri.
Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan norma-norma sosial yang mulia, di mana seorang ayah seharusnya berperan sebagai pelindung, pemelihara, dan pendidik bagi keluarganya.
Namun, kejadian tragis ini menunjukkan bagaimana moralitas telah terkikis dalam kasus-kasus yang ekstrem.
Sebuah hadis Nabi Saw mengatakan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap yang dipimpinnya.
Seorang ayah memiliki tanggung jawab atas kelangsungan hidup, kesejahteraan, dan perlindungan anggota keluarganya, terutama anak perempuannya.
Namun, dalam kasus yang memprihatinkan ini, seorang ayah dengan kejam menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya sebagai figur otoritatif dalam keluarga dengan melakukan pelecehan bahkan memperkosa anak perempuannya.
Tindakan kejahatan ini, baik dilakukan dengan paksaan maupun persetujuan, mencerminkan kerapuhan moralitas individu yang terlibat.
Hal ini tidak hanya merusak hubungan keluarga yang seharusnya penuh kasih sayang dan perlindungan, tetapi juga menghancurkan masa depan anak perempuan yang seharusnya dilindungi.
Saat terjadinya kejadian semacam ini, penting bagi masyarakat untuk merespons dengan tegas.
Tindakan keji semacam ini tidak boleh dibiarkan dalam struktur sosial kita.
Upaya pencegahan dan penindakan harus ditingkatkan oleh berbagai pihak, termasuk ulama, pemerintah, tokoh masyarakat, dan semua lapisan masyarakat.
Perlu dipahami bahwa kasus seperti ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang mendasar.
Dengan meningkatkan kesadaran kolektif dan mengambil tindakan konkret, kita dapat menghentikan dan mencegah kejadian serupa di masa depan, serta memastikan keamanan dan kesejahteraan keluarga sebagai fondasi yang kokoh bagi masyarakat yang adil dan beradab.
Hukuman bagi orangtua yang melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya sendiri menurut para ulama adalah hukuman ta’zir, bukan hukuman hudud zina. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang ditentukan oleh kebijaksanaan hakim.
Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan hukuman yang pantas bagi ayah tersebut, mulai dari yang ringan hingga yang berat, bahkan hukuman mati.
Ayah yang melakukan pelecehan seksual tidak dihukum dengan hukuman hudud zina karena dalam hukum Islam, zina didefinisikan sebagai hubungan seksual yang terjadi di luar nikah dengan penuh kesadaran, sementara dalam kasus ini, hubungan seksual tersebut terjadi antara ayah dan anak perempuannya, menimbulkan keraguan.
Selain itu, hukuman hudud zina tidak diberlakukan karena seorang anak tidak boleh menjadi alasan untuk menerapkan hukuman hudud zina kepada ayahnya.
Jika anak perempuan yang menjadi korban hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut tidak akan disebutkan sebagai anak dari ayahnya, melainkan hanya sebagai anak dari ibunya.
Ayah tersebut tidak akan menjadi wali dari anak yang dilahirkan oleh anak perempuannya tersebut, namun ia masih berkewajiban memberikan nafkah.
Perlu dicatat bahwa para ulama memperbolehkan aborsi bagi perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, baik oleh orang lain maupun oleh ayahnya sendiri.
Namun, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, termasuk jika perempuan tersebut tidak ingin mempertahankan kehamilannya, usia kehamilan belum mencapai empat bulan, dan aborsi dilakukan oleh ahli medis yang berkompeten.
Sumber: muhammadiyah.or.id