Langkah Kuda Komisi Informasi, Jangan Adu Domba Kepentingan deh

Kamis, 23 Mei 2024 | 09:59
Langkah Kuda Komisi Informasi, Jangan Adu Domba Kepentingan deh
Tolak Rev UU Penyiaran. -Foto @aji.indonesia.
Penulis: Opini Rizki Laelani | Editor: AyoBacaNews

SAYA berpikir. Apakah benar negara mencoba memberangus keterbukaan informasi? Khususnya jurnalisme investigas produk jurnalis dalam menjaga, mengimbangi, kontrol kekuasaan dan penyeimbang sekaligus lentera bagi masyarakat yang terseret gelombang informasi sesat dan hoaks.

Benarkan jurnalisme investigasi bisa mengacau kekuasaan? Mungkin tidak sejauh itu yang menjadi landasan adanya revisi RUU Penyiaran. Saya mencoba menelaah, meski hanya di kulitnya saja. 

Saat ini hampir semua insa pers resah. Ada juga yang sudah bergerak atas munculnya revisi RUU Penyiaran. 

Riak organisasi kewartawanan di Indonesia menyuarakan penolakan revisi RUU Penyiaran sudah terdengar. 

Sama seperti mereka, saya menilai Revisi UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 akan memberangus nilai demokrasi, mengkebiri hak warga untuk mengetahui informasi seluas-luasnya dan sebenar-benarnya, dan poin besarnya adalah mengancam kebebasan pers.

Saya menemukan dalam satu di antara beleid RUU Penyiaran pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. 

Sangat jelas bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c) adalah selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Saya jadi ingat, Komisioner Informasi Publik Republik Indonesia, Prof. Dr. Geertje W. S. Sumarahani pernah mengatakan jika keterbukaan informasi publik merupakan hak asasi manusia dan pilar penting dalam membangun demokrasi.

Bahkan Prof. Dr. Geertje W. S. Sumarahani tegas mengatakan kebebasan pers tidak dapat dipisahkan dari keterbukaan informasi publik. Pers membutuhkan akses informasi yang luas untuk menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintah dan pembela kepentingan publik.

Dari sana saya bisa tarik benang merah jika negara demokrasi sejatinya sanggup menjamin keterbukaan informasi publik dan kebebasan pers. Tujuannya jelas agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan mengawasi kinerja pemerintah.

Memang benar jika perjuangan revisi UU Penyiaran sudah dilakukan cukup lama. Akan tetapi titik tekannya bukan "upaya memberangus" pers, namun lebih kepada mengimbangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terbarukan, yang berdekatan dengan platform media penyiaran.

Jika saya beri contoh, paling utama dari niat revisi UU penyiaran, perkembangan digitalisasi penyiaran  dalam UU 32, tidak ada cantolannya. Sehingga digitalisasi penyiaran akhirnya menggunakan UU Cipta Kerja, Omnibuslaw. Jelas ini tidak relevan. 

Bukan malah seperti saat ini, justru memancing gaduh lantaran timbul kontroversi dari draf revisi RUU Penyiaran yang justru menabrakkannya dengan kebebasan pers. Jelas, awam saja menilai jika draf tersebut menyinggung larangan jurnalisme investigasi.

Isu ini siapa yang memainkan? Isi kepala orang pasti langsung mengarah ke kekuasaan. Meski belum tentu. Namun saya menggarisbawahi jika isu ini sangat penting untuk dibahas. Karena banyak yang memandang akan berpotensi mengancam kemerdekaan pers. 

Dan jauh lebih penting adalah dilarang disiarkan jurnalisme investigasi. Padahal, jurnalisme investigasi adalah karya jurnalistik.

Saya menilai, jurnalisme investigasi adalah sebuah crown, atau satu di antara mahkota penting di dalam jurnalistik.

Sepengalaman saya, untuk menghasilkan karya jurnalisme investigasi, seorang jurnalis harus mumpuni. Dibekali informasi lengkap dan pengetahuan yang juga dalam terkait informasi yang akan digali, diolah, dan nantinya disebar seluas-luasnya pada publik. 

Dalam memberikan tugas pada jurnalis investigasi, saya biasa menerapkan standar. Mulai dari verifikasi, bagaimana cara mencari sumber informasi yang tepat dan relevan, dan ini tidak mudah. Sehingga saya aneh, saat dari meja parlemen wakil rakyat justru terpikir untuk melarang jurnalisme investigasi.

Ini jelas jada masalah dasar dan krusial, mereka para wakil rakyat ini bisa berada di sana satu di antaranya karena berkat kerja-kerja para jurnalis yang hingga saat ini dan kapanpun akan selau menjaga dan mengusun nilai-nilai demokrasi. 

Aneh, jika para wakil partai tersebut seolah anti pada karya jurnalisme ini. Seharusnya merka bisa memperkuat UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 dan UU Pers No 40 Tahun 1999 agar bisa saling menguatkan di makomnya masing-masing, bukan malah seperti sengaja dilakukan dualisme aturan.

Kita tahu, UU Pers oleh Dewan Pers melalui kode etik jurnalistiknya, muncullah peraturan Dewan Pers. Kemudian dari KPI melalui P3SPS, diatur tentang jurnalismenya. Diatur ya, tapi tidak dilarang.

Langkah kuda Informasi Publik

Jurnalis bersama Dewan Pers akan selalu menjadi garda terdepan dalam menjaga pilar demokrasi. KPI pun memiliki maksud dan tujuan yang sama. Dan Informasi Publik juga ada peran dan harus berperan dalam situasi saat ini. 

Pakar Hukum, Prof Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan hukum itu adalah terkait dengan keadilan, dan ruh dari keadilan itu adalah keterbukaan. Di sana sangat jelas, Dewan Pers, KPI, dan juga Komisi Informasi ada dalam lingkaran keterbukaan informasi atau transparansi.

Dari sana saya mengambil benang merah, semua sama, yakni mengarah pada good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, dan ini yang menjadi cita-cita dari negara kita, yang sudah menyatakan bahwa negara kita adalah negara demokrasi. 

Poin besar dari itu semua adalah, rakyat mendapat keadilan dari apa yang dilakukan pemerintah, satu di antaranya mendapatkan informasi sebenar-benarnya dan seluas-luasnya tanpa intimidasi apalah bumbu hoaks. 

Keterbukaan informasi sudah diatur di dalam undang-undang nomor 14 tahun 2008. UU ini sudah disuarakan aktivis, akademisi, masyarakat sipil, atau facial society ini setelah runtuhnya Soeharto. Namun baru pada 2008, undang-undang Keterbukaan Informasi Publik  disahkan, diundangkan, dan berlaku dua tahun setelahnya. 

Jadi, didaftarkan kerangka Keterbukaan Informasi Publik ini ada dua hal, yakni kelembagaan yang bertanggung jawab menjalankan undang-undang ini. Pertama adalah Komisi Informasi, yang kedua adalah badan publik. 

Intinya, KI melaksanakan undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. Dari sana KI bisa memperkuat argumen hukum tentag drav revisi UU Penyiaran yang satu di antara pasalnya "mencoba" mematikan langkah kerja jurnalistik. 

Namun, lagi-lagi. Setelah ramai ditentang, muncul dari si pembuat undang-undang beralibi, "nggak begitu maksud kami." "Ini masih ada miss." Artinya UU Penyiran ini harus tetap direvisi, Dan jangan mencoba melakukan pelarangan terhadap karya jurnalistik. KI bisa terlibat dalam hal membantu pengawasan, bahkan bisa lantang mengatakan jika Jurnalisme Investigas adalah HAK PUBLIK. (*)

Penulis: Rizki Laelani adalah Pemimpin Redaks ayobacanews.com. 

Konten Rekomendasi (Ads)