"KALAU ada sesuatu yang berguna untuk diriku, tapi merugikan keluargaku. Aku akan menolaknya. Kalau ada yang berguna untuk keluargaku, tapi merugikan tanah air. Aku akan melupakannya. Kalau ada yang berguna untuk tanah air, tapi merugikan umat manusia, akan aku anggap itu sebagai kejahatan!”
Paragraf itu kuparafrase dari Montesquieu. Semangatnya kosmopolitanistis. Kejahatan yang menguntungkan tanah air, tapi merugikan umat manusia.
Itu dapat kita ingat pada Nazi. Kelompok chauvinis, serta segala macam bentuk ultranasionalisme yang menempelkan cap bahwa semua orang asing adalah lawan. Lebih radikalnya lagi, adalah musuh yang mesti diberangus.
Spirit kosmopolitanisme ini bisa kita lacak sampai ke Mahatma Gandhi (nasionalisme = humanisme) dan Soekarno (nasionalisme sebagai bagian taman sari internasionalisme).
Entah Tuhan atau seleksi alam, telah melahirkan kenyataan bahwa umat manusia terbagi ke dalam suku-suku, laki-laki dan perempuan, ke dalam pelbagai identitas yang membuka peluang mengenal satu sama lain.
Penolakan terhadap imigrasi, asimilasi, serta integrasi adalah penolakan yang tidak realistis. Terutama pada zaman ruang-waktu dapat dilipat seperti origami. Mengeliminasi kehadiran orang lain merupakan kemusykilan.
Penyangkalan terhadap kenyataan kosmopolitanisme pernah kita saksikan dari ekspresi politik identitas yang destruktif dan regresif.
Secara destruktif, kita lihat bagaimana identitas dimainkan sebagai garis batas yang mendudukkan identitas berbeda sebagai musuh abadi.
Secara regresif, kita bisa lihat beberapa identitas yang pengin kembali ke masa lalu seraya membunuh segala narasi yang membicarakan masa depan.
Bagaimana berontak dari penyangkalan tersebut? Julia Kristeva, dalam esai-esai Bangsa Tanpa Nasionalisme, kita bisa merakit toleransi, etos warga negara global yang radikal, bila kita bisa menyadari keasingan diri kita sendiri.
Hanya orang yang menyadari keasingan diri sendiri, yang bisa menerima orang asing sebagai bagian dari kenyataan hidup yang akan terus berlangsung.
Ketika kita menyadari kalau identitas kita sebagai orang Jawa ternyata adalah konsep yang sama sekali asing, maka kita bisa menerima kehadiran orang Manado, orang Bolaang Mongondow, atau orang Papua di samping kita.
Mengakrabkan diri dengan keasingan membuat dunia lebih ramah. Setiap orang asing mustahak hidup dalam dunia yang kaya akan perbedaan dan partikularitas.
Demikian yang Kristeva harapkan merasuk ke sukma semua manusia. Sebab dunia terlalu luas untuk ego identitas yang terlalu dangkal. (*)
Penulis opini Triwardhana Mokoagow merupakan penulis buku Cinta Adalah Kata Kerja yang Benci Menyerah dan Aku Tidak Tahu Bahwa Aku Tidak Tahu Apa Apa.