Ketika perang Israel-Palestina membawa jutaan korban jiwa, gencatan senjata justru kerap menjadi solusi. Ironisnya, perang yang dimulai dengan jargon "tujuan mulia" berakhir dengan perdamaian di meja perundingan. Untuk siapa perang ini sebenarnya, dan siapa yang bertanggung jawab atas penderitaan rakyat?
KETIKA perang memakan jutaan nyawa rakyat Palestina, mengapa gencatan senjata atau perdamaian sering kali muncul sebagai solusi. Pragmatis sekali bukan? Kini muncul pertanyaan etis.
Untuk siapa perang ini? Jika pada akhirnya para pemimpin duduk berunding dan berdamai, mengapa perang yang membawa korban sipil perlu terjadi sejak awal?
Saat terjadi peperangan dalam banyak kasus, rakyat yang menjadi korban perang tidak pernah benar-benar merasakan manfaat perdamaian, sementara elite politik mungkin tetap menikmati kekuasaan mereka.
Perang selalu dimulai dengan dalih yang tampak mulia. Membela tanah air, melindungi rakyat, atau memperjuangkan hak-hak yang dirampas. Namun, ketika debu konflik seperti tak berujung, lalu yang dipilih gencatan senjata.
Kenapa gencatan senjata sering kali menjadi pilihan yang diambil oleh para pemimpin kedua belah pihak. Pertanyaannya, jika akhirnya harus berdamai, mengapa perang menjadi langkah awal yang mereka pilih?
Rakyat sering menjadi korban pertama dari keputusan yang dibuat oleh segelintir pemimpin.
Mereka yang hidup dalam ketakutan, kehilangan tempat tinggal, dan kehilangan orang-orang yang dicintai.
Di Palestina dan Israel, jargon "mati syahid" kerap digunakan untuk membakar semangat perlawanan, sementara pihak lain berbicara tentang "hak membela diri."
Namun, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas nyawa yang hilang di medan perang ini?
Para pemimpin yang menyerukan perlawanan? Atau mereka yang memulai agresi dengan alasan keamanan nasional?
Saat akhirnya meja perundingan menjadi tempat penyelesaian konflik, mereka yang dulu mengobarkan perang kini berbicara tentang perdamaian.
Ironisnya, para pemimpin ini sering kembali ke rutinitas mereka, sementara luka fisik dan psikis yang dialami rakyat masih menganga.
Gencatan senjata, meskipun menjadi langkah awal menuju perdamaian, seringkali tidak menghapus penderitaan yang sudah terlanjur terjadi.
Perang tampaknya menjadi permainan elit politik dan militer, sementara rakyat menjadi bidaknya.
Ketika perang dikobarkan, rakyat diminta untuk berkorban demi tujuan yang dianggap mulia.
Namun, ketika mereka kepayahan maka gencatan senjata yang dipilih. Rakyat jarang dilibatkan dalam proses penyelesaian yang lebih besar.
Perdamaian sering kali hanya menjadi milik para elite, yang memutuskan kapan harus menghentikan perang dan kapan harus memulai konflik baru.
Jika perang memiliki tujuan mulia seperti yang sering diklaim, mengapa perdamaian selalu menjadi akhirnya?
Apakah ini berarti perang itu sendiri hanyalah alat untuk mencapai kepentingan tertentu, bukan benar-benar tentang tujuan mulia yang sering diumbar kepada rakyat?
Dan jika perdamaian adalah solusi yang diambil pada akhirnya, mengapa tidak memilih jalan diplomasi sejak awal?
Pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah siapa yang harus bertanggung jawab atas jutaan nyawa yang hilang selama konflik ini.
Para pemimpin sering berbicara tentang tanggung jawab kolektif, tetapi penderitaan rakyat jarang menjadi prioritas utama mereka.
Jika perang dan damai adalah keputusan yang dibuat di ruang-ruang rapat elit, lalu di mana posisi rakyat yang menjadi korban dari kedua keputusan ini?
Konflik Israel dan Palestina adalah pengingat tragis tentang bagaimana perang sering kali mengorbankan mereka yang paling rentan.
Ketika debu pertempuran telah mereda dan gencatan senjata diberlakukan, rakyat tetap harus menghadapi trauma, kehilangan, dan kehancuran yang ditinggalkan.
Perdamaian mungkin akhirnya tercapai, tetapi untuk siapa? Dan apakah itu cukup untuk membayar harga perang yang telah terlanjur terjadi?
Perang harus berakhir dengan kemenangan pihak tertentu didengungkan "Clausewitzian Total War" yang berasal dari pemikiran Carl von Clausewitz, seorang teoretikus militer dari Jerman.
Dalam bukunya yang terkenal, On War (Vom Kriege), Clausewitz menegaskan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain (war is merely the continuation of policy by other means), dan dalam beberapa kasus, perang harus dilakukan hingga tujuan politik tercapai, yang sering kali berarti kemenangan total.
Perang adalah tindakan kekerasan yang ekstrem. Kekerasan digunakan untuk menghancurkan kemampuan musuh untuk melawan, sehingga tidak ada pilihan selain menyerah.
Tujuan perang adalah untuk memaksa musuh menyerah. Agar perang berhasil, satu pihak harus mendominasi pihak lainnya sepenuhnya.
Dalam konteks ini, kompromi atau gencatan senjata mungkin dianggap sebagai tanda kelemahan.
Perang harus mendukung tujuan politik. Dalam teori Clausewitz, perang adalah alat politik.
Jika tujuan politik hanya dapat dicapai melalui kemenangan militer, maka perang harus dilanjutkan hingga pihak lain dikalahkan.
Keputusan untuk menerima gencatan senjata mungkin tidak sesederhana antara rasa takut dan pengkhianatan.
Ini sering kali merupakan hasil dari pertimbangan strategis yang kompleks, yang mungkin tidak selalu dipahami atau disetujui oleh rakyat Palestina.
Namun, apa pun alasan di balik keputusan itu, rakyat Palestina sering kali menjadi pihak yang paling menderita.
Mereka kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan, sementara elite politik tetap berdebat di meja perundingan.
Inilah yang memunculkan pertanyaan moral: apakah perang ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya untuk melayani kepentingan elite tertentu?
Disclaimer: Sudut Pandang adalah komitmen AyoBacaNews.com memuat opini atas berbagai hal. Tulisan Sudut Pandang bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis. Penulis, Rizki Laelani adalah Mahasiwa Pascasarjana KPI UIN BANDUNG.