AyoBacaNews.Com, Bandung- Ketergantungan negara-negara di seluruh dunia terhadap dolar AS sebagai mata uang utama transaksi internasional telah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir.
Kini, semakin banyak negara yang mulai meninggalkan dolar AS dan beralih menggunakan mata uang lokal atau yuan China dalam perdagangan internasional.
Fenomena yang dikenal sebagai de-dollarization atau de-dolarisasi ini memiliki alasan mendasar, terutama dalam upaya mengurangi risiko ekonomi akibat dominasi dolar AS.
Berdasarkan data dari jurnal UNMA (2022), indikasi tren de-dolarisasi terlihat dari penurunan porsi dolar AS dalam cadangan devisa global, yang turun dari 73% pada 2001 menjadi 55% pada 2021. Lantas, apa dampak dan tujuan dari langkah besar ini?
De-dolarisasi merupakan langkah strategis yang diambil oleh negara-negara untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam berbagai transaksi internasional.
Seiring meningkatnya ketidakstabilan ekonomi global dan kebijakan moneter AS yang tidak selalu menguntungkan bagi negara-negara lain, sejumlah negara mulai mempertimbangkan penggunaan mata uang lain dalam transaksi ekonomi internasional.
China dan Rusia menjadi contoh negara yang paling aktif dalam mendorong de-dolarisasi. Mereka beralih menggunakan mata uang masing-masing dalam transaksi bilateral, sementara China juga memperkuat yuan sebagai alternatif di berbagai perjanjian perdagangan internasional.
Tren de-dolarisasi ini juga meluas ke negara-negara di Asia, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Indonesia, misalnya, telah mulai mempromosikan penggunaan rupiah dalam beberapa transaksi bilateral sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dari ketergantungan pada dolar AS.
Langkah ini semakin diperkuat oleh data dari jurnal UNMA (2022) yang menunjukkan penurunan signifikan dalam porsi dolar AS dalam cadangan devisa global.
Pada tahun 2001, sekitar 73% cadangan devisa bank sentral di seluruh dunia ditempatkan dalam dolar AS, tetapi angka ini turun menjadi 55% pada tahun 2021.
Penurunan ini mencerminkan keinginan banyak negara untuk memiliki kemandirian ekonomi yang lebih besar dan mengurangi potensi risiko dari fluktuasi nilai dolar serta kebijakan AS.
Pergeseran ini juga terjadi akibat kekhawatiran negara-negara terhadap sanksi ekonomi AS yang semakin sering diterapkan kepada pihak yang berseberangan secara politik.
Dengan mengurangi penggunaan dolar AS, negara-negara tersebut berharap bisa melindungi ekonomi mereka dari risiko pembatasan atau sanksi yang mungkin diberlakukan.
Di sisi lain, penggunaan mata uang lokal dan yuan dalam perdagangan internasional dipandang dapat mendukung stabilitas ekonomi negara-negara tersebut, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global.