Bumi Indonesia Tak Cukup? Kini Keringat Rakyat yang Diperas, Prabowo Omon-Omon doang

Sabtu, 21 Desember 2024 | 09:23
Bumi Indonesia Tak Cukup? Kini Keringat Rakyat yang Diperas, Prabowo Omon-Omon doang
Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan Prabowo menaikan pajak 12 persen dan pajak QRIS ditentang masyarakat. Prabowo yang banyak bicara patriotik dinilai omon-omon.
Penulis: L Sundana | Editor: AyoBacaNews

"Jika saya bayar pajak, saya dapat apa dari pemerintah?" Pertanyaan ini dilontarkan oleh pengamat politik Rocky Gerung dalam salah satu diskusinya di kanal YouTube. 

KALIMAT tersebut memukul telak inti dari prinsip dasar demokrasi: no taxation without representation. 

Prinsip ini seharusnya memastikan bahwa setiap pajak yang dipungut pemerintah membawa manfaat nyata bagi rakyat yang membayar. 

Namun, kenyataan di Indonesia tampaknya jauh dari harapan itu.

Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menuai kritik tajam dari berbagai pihak. 

Protes bermunculan, baik melalui media sosial maupun diskusi publik. Kebijakan ini tidak hanya dianggap memberatkan rakyat miskin, tetapi juga memunculkan tanda tanya besar: apakah pemerintah benar-benar menjalankan tugasnya untuk mendistribusikan kekayaan secara adil?

Pemerintah Kehabisan Napas?

Kenaikan tarif PPN menjadi sorotan sebagai indikasi bahwa pemerintah sedang mencari cara cepat untuk menambal defisit anggaran. 

Rocky Gerung menyebut langkah ini sebagai tanda bahwa negara "kehabisan napas." 

Kenaikan pajak yang menyasar semua lapisan masyarakat, termasuk yang paling rentan, bertentangan dengan tujuan dasar pajak sebagai alat distribusi kekayaan.

Menurut penelitian dari LPEM UI, dampak kenaikan PPN lebih terasa pada masyarakat miskin. 

Keluarga dengan penghasilan rendah akan lebih terdampak karena sebagian besar pengeluaran mereka dialokasikan untuk kebutuhan pokok yang kini menjadi lebih mahal. 

Di sisi lain, bagi kalangan atas, meskipun biaya meningkat, dampaknya tidak sebesar yang dirasakan oleh masyarakat miskin.

Konteks Kenaikan Pajak

Sejak diberlakukannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah memiliki dasar hukum untuk menaikkan PPN. 

Meski demikian, langkah ini memunculkan kritik, terutama dalam konteks perekonomian yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. 

Ketika daya beli masyarakat masih rendah, kebijakan ini justru dinilai kontraproduktif.

Pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan. 

Namun, kebijakan ini dipandang sebagai bentuk keputusasaan yang mengorbankan rakyat. 

Sebagai perbandingan, negara maju seperti Jepang atau Jerman memang memiliki tarif PPN yang tinggi, tetapi mereka menyediakan sistem kesejahteraan sosial yang jelas dan transparan bagi warganya.

Dalil Orang Pajak

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa kenaikan PPN bukanlah hal baru. 

Penerapan pajak ini telah ada sejak tahun 1983 dan terus diperbarui. Penjelasan ini menegaskan bahwa pajak atas layanan uang elektronik, misalnya, sudah diatur sejak lama. 

Meski demikian, banyak yang menganggap penjelasan ini tidak cukup untuk meredakan keresahan publik.

DJP menjelaskan bahwa PPN hanya dikenakan pada biaya administrasi atau layanan, bukan pada nilai transaksi itu sendiri. 

Namun, masyarakat menilai beban ini tetap memberatkan, terutama karena biaya hidup yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan perbaikan layanan publik.

Mengapa Rakyat Resah

Kenaikan PPN tidak hanya menyentuh sektor ekonomi, tetapi juga menggoyang kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 

Dalam kondisi ideal, pajak seharusnya menjadi alat redistribusi kekayaan, mendukung pembangunan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Namun, jika pengelolaannya tidak transparan dan penggunaannya tidak dirasakan oleh rakyat, maka legitimasi pemerintah akan dipertanyakan.

Sebagai ilustrasi, janji-janji seperti yang dilontarkan oleh Prabowo Subianto bahwa "anggaran negara harus sampai di piring rakyat" terdengar kosong ketika kebijakan yang diambil justru menekan rakyat kecil. 

Kritik Rocky Gerung tentang peran parlemen yang lebih tunduk pada pemerintah daripada mendengarkan suara rakyat memperkuat narasi bahwa demokrasi di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan.

Hal yang penting menjawa demokrasi ini tetap waras adalah mulai dengan transparansi anggaran. 

Pemerintah harus memastikan bahwa setiap rupiah pajak yang dikumpulkan digunakan secara efektif dan transparan. 

Publikasi laporan penggunaan pajak secara rutin dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Lalu apa salahnya ada pengurangan beban pajak pada sektor rentan. Kebijakan pajak progresif yang lebih memihak masyarakat miskin perlu diterapkan. Misalnya, penghapusan PPN untuk barang kebutuhan pokok.

Ingat rakyat Indonesia 70 persen masih bisa "dibodohi" karena tingkat pendidikan renda. 

Banyak masyarakat yang tidak memahami tujuan dan manfaat kebijakan pajak. 

Pemerintah perlu melakukan edukasi publik secara masif untuk mengurangi kesalahpahaman.

Terpenting lainnya adalah peran parlemen sebagai representasi rakyat harus diperkuat agar kebijakan pemerintah benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat.

Pajak dan Masa Depan Demokrasi

Kenaikan pajak selalu menjadi isu sensitif yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. 

Dalam demokrasi yang sehat, kebijakan pajak harus mencerminkan prinsip keadilan sosial. 

Jika tidak, rakyat akan terus merasa terpinggirkan dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah.

Keadaan saat ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal suara dalam pemilu, tetapi juga tentang bagaimana setiap kebijakan pemerintah memberikan manfaat nyata bagi rakyat. 

Saatnya pemerintah tidak hanya memungut pajak, tetapi juga memberikan bukti nyata bahwa pajak tersebut benar-benar kembali untuk rakyat. (*)

Disclaimer: Sudut Pandang adalah komitmen AyoBacaNews.com memuat opini atas berbagai hal. Tulisan Sudut Pandang bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis. Penulis, Rizki Laelani adalah penulis yang tercatat sebagai Mahasiswa S2 KPI UIN Bandung dan Fungsionaris KAHMI Sumedang.

 

 

Konten Rekomendasi (Ads)